Istilah “Haflah akhirussanah” tentunya tak asing lagi bagi umat Islam Indonesia, lebih-lebih kalangan pesantren. Istilah yang diadopsi dari bahasa Arab ini, nampaknya tidak hanya populer dimasyarakat, namun sudah sampai mengakar rumput seperti halnya bahasa sendiri. Lepas dari kepopulerannya, sebenarnya apa makna dan hikmah dariHaflah akhirussanah itu sendiri?.
Makna Haflah akhirussanah
Secara etimologi Haflah Akhirussanah merupakan gabungan dari tiga kata. Pertama,haflah, yang berarti pertemuan, perkumpulan, perayaan, pesta, upacara (A. W. Munawwir, 1997: 280); kedua, akhir, yang berarti akhir (A. W. Munawwir, 1997: 12);ketiga, sanah, yang berarti tahun (A. W. Munawwir, 1997: 670). Jadi Haflah Akhirussanah adalah perayaan atau pesta – dengan mengacu pada arti perayaan atau pesta – akhir tahun.
Secara terminologi Haflah Akhirussanah adalah – melihat pada sejarah dan perkembangan munculnya istilah ini – perayaan atau pesta yang dilaksanakan pada akhir tahun pelajaran – yang dimaksud tahun di sini bukan tahun secara umum, dalam arti tahun masehi atau hijriyah – oleh institusi pendidikan Islam baik formal maupun non formal.
Penggunaan arti perayaan atau pesta di sini, didasarkan pada kebiasaan yang dilakukan oleh institusi pendidikan Islam yang tidak hanya sekedar perkumpulan, melakukan pertemuan atau upacara. Namun juga melaksanakan kegiatan yang bersifat hiburan. Keberadaan kegiatan yang bersifat hiburan ini dimungkinkan, karena kegiatan Haflah Akhirussanah dilaksanakan setelah imtihan (ujian). Jadi hiburan tersebut ditujukan untuk membuat suasana yang santai setelah melaksanakanimtihan.
Hikmah Haflah Akhirussanah
Telah disinggung di depan bahwa Haflah Akhirussanah lebih condong pada arti perayaan atau pesta, namun perayaan atau pesta di sini bukan berarti secara umum, artinya Haflah Akhirussanah mengandung makna (hikmah) yang lebih bersifat moral dan sosial, yaitu; pertama, sikap wara’. Wara’ di sini bukan cuma sekedar keluar dari perkara subhat tetapi lebih ditekankan – seperti kata Yusup ibn Abid – pengoreksian diri dalam setiap keadaan (Risalah al-Qusyairiyah: 109-111).
Jadi, dalam konteks Haflah Akhirussanah koreksi diri sangat diperlukan, artinya apa yang dikerjakan saat ini setimpal atau seimbangkah dengan apa yang dikerjakan dalam satu tahun, baik bersifat transendental maupun sosial.
Kedua, muraqabah. Muraqabah adalah melihat Tuhan dengan mata hati dan menghubungkannya dengan perbuatan yang telah dilakukan, kemudian mengambil hikmah atau jalan yang terbaik bagi dirinya dengan mempertimbangkan dan merasakan adanya pemantauan Tuhan terhadap dirinya (Risalah al-Qusyairiyah:189). Dalam muraqabah ini hampir sama dengan wara’ dalam hal melakukan koreksi, hanya saja untuk muraqabah lebih ditekankan pada sikap transendental seseorang dan menghubungkan dengan koreksi terhadap diri sendiri.
Ketiga, sikap khauf. Khauf adalah takut terhadap kemungkinan adzab Tuhan, di dunia atau akhirat. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126). Hal ini didasarkan pada firman Allah, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Ali Imran[3]: 175). khauf di sini bertujuan agar manusia selalu mempertimbangkan tingkah lakunya. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126).
Maka, dalam moment Haflah Akhirussanah, benar-benar dituntut untuk selalu mempertimbangkan, memikirkan dan merenungkan terhadap tingkah laku, baik yang telah dikerjakan (pra Haflah Akhirussanah) maupun yang akan dikerjakan (pascaHaflah Akhirussanah).
Demikian itu adalah semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dalam rangka penghambaan makhluk kepadaNya. Abdul Qosim berkata: “Siapa yang takut kepada sesuatu, maka ia akan lari darinya, tetapi takut kepada Tuhan justru semakin mendekatiNya”. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126).
Keempat, zuhud. Menurut Abu Sulaiman ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang memalingkan diri dari Tuhan. Atau mengosongkan hati dari dorongan ingin bertambah lebih dari kebutuhan terhadap makhluk. Jelasnya zuhud adalah menganggap ringan sesuatu yang ada di dunia dan segala perhiasan serta urusannya. (M. Nawawi al-Jawi, Salalim al-Fudlala’: 20-21).
Zuhud di sini bukan berarti uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian aktifitas dunia, tapi giat mecari rezeki dan menafkahkan – setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi – sebagian hasilnya kepada orang-oraang yang kebutuhan dasarnya masih kekurangan dan ikut berpartisipasi untuk mengentaskan masalah-masalah sosial yang sangat kompleks yang meliputi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, penindasan dan lain-lain. (Afifuddin Muhajir, An-Nadhar, 2005: edisi 58).
Dalam konteks Haflah Akhirussanah, konsep zuhud ini setidaknya memberi pegangan kepada manusia, dimana ketika manusia tersebut hidup pada dunia lain (dari santri menjadi masyarakat biasa, miskin menjadi kaya, biasa menjadi terhormat dan sebaliknya).
Kelima, ukhuwah insaniyah, persaudaraan sesama manusia. Yaitu persaudaraan yang bersifat universal, dengan tidak memandang kepada golongan, daerah, suku, bahasa, maupun agama.
Dengan ukhuwah insaniyah ini, manusia akan bisa merasakan apa yang dialami dan dirasakan oleh sesamanya, sehingga tidak cuma sekedar berkata: “Aku adalah aku” dan “Kamu adalah kamu”.
Dalam moment Haflah Akhirussanah pastilah akan berkumpul berbagai macam corak manusia. Mulai dari daerah yang berbeda, latar belakang berbeda, suku, bahasa maupun agama yang berbeda. Maka, konsep ukhuwah insaniyah telah masuk dalam tataran praksis, dan semua itu tergantung pada diri manusia itu sendiri, mau “merenungkan”, apa tidak?.
Dari makna Haflah Akhirussanah di atas – mungkin cuma sekelumit dari banyak hikmah – manusia bisa menemukan jati dirinya dengan “merenungkan”, “memikirkan”, dan selanjutnya “melaksanakan”.