Halaman

Sabtu, 03 Maret 2012

Kyai

Pesantren merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang terbilang sangat tua. Bahkan secara pasti tidak diketahui kapan awal mula keberadaan pesantren. Sebagian pakar sejarah ada yang mengatakan bahwa pesantren sudah ada pada zaman Wali Songo, sekitar abad 15.

Sebagai lembaga, pesantren mempunyai beberapa elemen yang ada di dalamnya. Setidaknya ada lima elemen; pondok, masjid, kiai, santri, pengajaran kitab kuning.

Salah satu elemen dalam pesantren adalah kyai. Kyai merupakan pemimpin pesantren, dan kadang pula juga pendiri pesantren tersebut. Kyai adalah motor dari sebuah pesantren. Berbagai macam corak pesantren banyak dipengaruhi oleh karakter seorang kyai. Paradigma kyai akan berpengaruh besar terhadap corak pesantren.

Kyai juga biasa disebut dengan ulama’. Karena makna keduanya bisa dikatakan sama, walaupun ada sedikit yang membedakannya. Sebenarnya istilah kyai ini berasal dari bahasa Jawa yang diperuntukkan bagi tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan yang diperuntukkan bagi barang yang dianggap keramat; kedua, gelar kehormatan untuk orang tua pada umumya; ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat pada seorang ahli agama Islam atau pemimpin pesantren.

Pada kenyataannya kyai dalam masyarakat diposisikan sebagai orang tua (yai) yang dianggap mengerti tentang semua hal. Maka tidak heran, bukan masalah keagamaan an sich yang ditanyakan pada kyai, tapi juga masalah dari berbagai segi kehidupan, seperti mau beli tanah, mau menikah, masalah perekonomian, sampai pada masalah politik sekaligus.

Terlepas dari kyai sebagai seorang ahli agama dan pemimpin pesantren, kyai mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Figur kyai –untuk saat ini– diharapkan mampu untuk menjadi penggerak untuk mencapai perubahan sosial menuju arah yang lebih baik. Dari keadaan yang tidak adil menjadi berkeadilan. Hal ini dikarenakan, figur seorang kyai telah melekat di tengah masyarakat Indonesia. Jadi kyai mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap perubahan sosial masyarakat.

Kyai dan pesantren-nya, tidak bisa dipungkiri juga ikut berperan dalam pembangunan. Karena pesantren sendiri adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Kyai dan pesantren tidak hanya diharapkan sebagai penggerak perubahan, namun lebih pada pelopor perubahan itu sendiri (agent of cange). Keberadaannya dalam masyarakat Indonesia diharapkan mampu memberikan alternatif pemikiran dan juga tindakan. Dalam arti kyai dan pesantrennya dituntut untuk menjawab problema-problema yang muncul kian kompleks, dengan kemampuan keagamaannya serta mampu mengendalikan tindakan yang merupakan implementasi dari pemikiran tersebut.

Tapi sangat ironis sekali, ketika kyai dan pesantren dijadikan pelopor perubahan, namun kyai dan pesantren itu sendiri alergi terhadap perubahan. Hal ini ditakutkan bahwa kyai dan pesantren tidak introspeksi diri dalam melihat kekurangan yang harus dibenahi.

Untuk itu kritik adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh kalangan pesantren terlebih kyai. Sehingga kyai dan pesantren akan terbawa pada kesadaran akan realita yang dihadapinya. Sudah saatnya kyai dan pesantren jujur pada dirinya sendiri, untuk sekedar mengungkapkan kekurangan-kekurangan, paradoks-pradoks yang ada dalam tubuh pesantren. Bukankah Imam ‘Ali pernah mengatakan: “kull al-haqqa walau kana murra”, katakanlah perkara yang benar adalah benar walaupun pahit dikatakan.

Dari sini semoga, kyai, pesantren, dan kita semua terbawa terhadap kesadaran akan realita yang ada disekeliling kita. Sehingga peran kiai, pesantren, benar-benar membawa perubahan terhadap gejala sosial yang ada.

Source:
  1. Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,(Jakarta: LP3ES, 1994), cet. vi
  2. Amin Haedari, et. al., Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), cet. xiv

Tidak ada komentar:

Posting Komentar