Karena manusia tersusun dari berbagai macam unsur yang saling bertentangan, maka watak unsur-unsur ini akan saling berbeda. Dan kenikmatan yang cocok dengan satu unsur tidak sesuai dengan kenikmatan bagi unsur lawannya. Maka tidak ada kenikmatan yang benar-benar bebas dari derita.
Tapi karena manusia juga memiliki satu substansi lain yang sederhana, yang sifatnya ilahi, dimana substansi ini tidak dapat bercampur dengan satupun dari unsur-unsur fisik yang ada, maka dia dapat merasakan jenis kenikmatan yang berbeda dengan kenikmatan-kenikmatan lain, lantaran kenikmatan ini sederhana.
Cinta yang ditimbulkan oleh kenikmatan ini adalah cinta yang membara hingga berubah menjadi kasih sayang yang sempurna dan murni, yang serupa dengan ekstase (walh). Inilah cinta ilahi yang sering disebut-sebut dimiliki sebagian orang yang berupaya menyatu dengan Tuhan. Ini pulalah yang diungkapkan Aristoteles, yang mengutip Heraclitus, bahwa segala sesuatu yang berbeda tidak sama satu sama lain, dan karenanya tidak bisa bersatu dalam keselarasan yang baik.
Segala sesuatu yang sama saling tertarik dan mendambakan. Atas dasar hal ini, dapat disimpulkan bahwa substansi-substansi yang sederhana itu saling sama dan rindu terhadap yang lainnya, maka akan harmonislah substansi-substansi tersebut. Kalau sudah harmonis, maka substansi-substansi tadi menjadi sesuatu yang tunggal yang tak ada hal lain di dalamnya. Karena hal lain itu terjadi pada materi. Segala sesuatu yang terbentuk dari materi, yaitu benda-benda –kendatipun benda-benda ini berupaya untuk mendapatkan keharmonisan– tidak dapat menyatu. Sebab persatuan benda-benda terjadi pada ujung dan permukaannya saja, bukan pada esensinya. Kalau terjadi persatuan dengan cara begini, akan cepat lepas. Benda-benda menyatu hanya sekedar kapasitasnya. Maksudya, hanya permukaannya saja yang menyatu.
Dengan demikian, kalau substansi ilahi yang terdapat pada diri manusia terbebas dari keseluruhannya lantaran berhubungan dengan materi, dan jika tidak terpikat hawa nafsu dan keinginan akan kehormatan, maka substansi ini akan merindukan sesuatu sepertinya, dan akan melihat, melalui mata kecerdasannya, “Kebaikan Sejati Pertama”, yang tidak tercemari materi, dan akan bergegas ke sana. Pada saat seperti itulah cahaya “Kebaikan Pertama” itu akan terpancar kepadanya. Kenikmatan yang diresapinya tak ada tandingannya. Entah ia memanfaatkan Wadag kasar atau tidak, ia akan mencapai makna menyatu. Ia akan lebih patut mendapat derajat tinggi ini setelah sepenuhnya terbebas dari jasad kasar. Karena ia tidak akan bebas sepenuhnya kecuali kalau sudah terlepas dari kehidupan duniawi.
Di antara kebajikan-kebajikan cinta ilahi ini ialah; tidak akan berkurang, tidak ternoda oleh umpat dan fitnah, tidak ada seorang raja manapun yang menentangnya, dan terjadi di kalangan orang-orang bijak saja.[]
Source: Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhak; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, (terj.) Helmi Hidayat, dari judul asli Tahdib al-Akhlaq, (Bandung: Mizan, 1998), cet. iv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar