Halaman

Jumat, 18 Mei 2012

Tradisi Kurban Di Kampungku

Setahu saya, berkurban itu dengan hewan semisal sapi, kambing, dan lain-lain yang sehat dan tentunya telah memenuhi kriteria dalam berkurban sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab fikih. Sekali lagi cuma hewan dan tak ada yang lain. Niat dan tujuan kurban tentunya sudah menjadi hal yang tak terpisahkan dari kurban itu sendiri.

Namun, lain halnya dengan tradisi yang ada dikampungku. Dimana seseorang yang berkurban tidak hanya hewan kurban yang dibawa, tapi juga sesuatu yang menjadi kebutuhan untuk memasak (pada waktu penyembelihan hewan), seperti: kayu bakar, beras, bumbu-bumbuan, kain kafan, daun pisang, daun sirih dan lain-lain.

Sebenarnya, mereka yang berkurban juga tahu bahwa sesuatu tersebut bukan menjadi sebuah kewajiban yang berkaitan dengan kurban. Tapi kenyatannya mereka tetap saja membawa sesuatu selain hewan kurban tersebut.

Mengapa demikian? Apakah karena sudah menjadi sebuah tradisi? Ataukah memang ada keyakinan oleh sebagian orang tentang tradisi tersebut? Terutama bagi mereka yang lebih kental dengan tradisi Jawa.

Tradisi kurban di kampungku memang tidak semuanya dikelola oleh sebuah panitia kurban atau ta’mir masjid. Sebagian ada kurban yang diamanatkan atau dipercayakan kepada kyai kampung atau guru ngaji. Karena selama ini figur kyai atau guru ngaji masih tetap menjadi sentral untuk urusan ibadah sehingga masyarakatpun lebih percaya pada kyai atau guru ngaji daripada sebuah panitia kurban.

Ketika kurban ini dilaksanakan di salah satu kyai kampung, maka akan membutuhkan beberapa pembantu dalam pelaksanaannya. Di sinilah seakan-akan kyai tadi menjadi panitia kurban ‘dadakan’ yang harus memanage beberapa orang untuk membantunya melaksanakan kurban. Seperti mendata orang-orang yang akan diberi daging kurban, mengatur petugas pembagi dan lain-lain. Dalam hal ini, operasional seluruh kegiatan kurban juga ditanggung semua oleh kyai tadi.

Dari latar belakang itu, maka ada sebagian orang ketika berkurban tidak hanya membawa hewan kurban tapi juga sesuatu yang dibutuhkan dalam operasional kurban tersebut, walau cuma dengan sekedar beras, bumbu-bumbuan, kayu bakar dan lain-lain. Selanjutnya, hal ini juga dilakukan terus-menerus oleh orang-orang yang berkurban, sehingga bisa dikatakan, menjadi sebuah tradisi dalam berkurban.

Dari sisi lain, saya juga melihat ada beberapa keyakinan dari sebagian orang yang lebih kental dengan tradisi Jawa, bahwa sesuatu tersebut menjadi sebuah pelengkap dalam melaksanakan kurban. Ini saya lihat dari beberapa barang bawaan seperti, kain kafan, daun sirih, daun pisang, beberapa bunga (seperti ketika ditaburkan di atas makam), uang (dalam tradisi Jawa disebut Sari), pisang dan lain-lain.

Saya menduga bahwa apa yang diyakini oleh mereka adalah terkait dengan seseorang yang menjadi tujuan kurban. Dalam arti, pahala dari kurban tersebut ditujukan pada seseorang yang telah meninggal dunia. Sehingga mereka menyimbolkan dengan membawa kain kafan, daun sirih, beberapa bunga, uang (sari).

Lepas dari itu semua, baik tradisi maupun keyakinan tadi, apresiasi patut diberikan kepada mereka. Walaupun secara ekonomi mereka bukan tergolong orang yang kaya, mereka masih menyisihkan hewan ternaknya untuk dibuat kurban. Mereka juga termasuk orang yang berbakti dan menghargai pada leluhur mereka dengan jalan memberikan pahala kurban tersebut.

Selain itu kurban juga membantu kepada saudara-saudara kita yang miskin. Mereka bisa menjual daging hasil dari pembagian kurban untuk kebutuhan sehari-hari. Seandainya tidak dijualpun, setidaknya mereka bisa merasakan daging yang selama ini jarang mereka nikmati.

Terakhir, semoga kita bisa mengambil pesan moral dari kurban ini. Bukan hanya sekedar sebagai ibadah mahdhoh (transendental) tapi juga menjadi ibadah ghoiru mahdhoh (horizontal, kesalehan sosial).[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar