Kata “kemiskinan” atau “miskin” sering sekali kita jumpai dan sering pula kita dengar. Tak hanya dalam kehidupan sehari-hari saja, bahkan dalam teks yang dianggap sakral semisal dasar Negara bahkan sampai agama. Sebut saja UUD 1945 dan Al-Qur’an. Dalam tataran agama, Al-Qur’an menyebutkan beberapa kali kata “miskin” dan sering kali pula bersamaan dengan kata “faqir” yang kalau diamati mempunyai makna yang kurang lebih sama atau hampir sama.
Kata “miskin ini juga sering pula bersamaan dengan kata “shodaqoh” atau kata yang semakna dengannya. Dalam kehidupan bernegara kata “miskin” atau “kemiskinan” sangat fasih sekali diucapkan oleh anggota DPR, politikus dan para aparatur negara.
Dari seringnya penyebutan kata “miskin” atau “kemiskinan”, pastilah ada prioritas utama yang terdapat di dalamnya, sehingga kita tidak bisa lepas dari yang namanya “miskin”. Ada apa sebenarnya dalam kemiskinan tersebut? Kenapa sampai terjadi kemiskinan? Apakah ini memang takdir dari Tuhan? Kalaupun ini memang takdir dari Tuhan, kenapa Tuhan kok sangat kejam, membiarkan kelaparan dimana-mana, busung lapar dan anak-anak terlantar di jalanan. Kalau kita percaya akan Tuhan yang kejam berarti ada Tuhan yang baik. Kalau begitu ada dua Tuhan; Tuhan baik dan Tuhan kejam. Dan seperti itu tidak benar, karena hanya ada satu Tuhan.
Sebagai orang beragama tentunya semua akan kita kembalikan pada pedoman dasar –bagi umat Islam– adalah Al-Qur’an. Kalau kita tilik pada konsep penciptaan, kita tahu bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dengan berpasang-pasangan dan Tuhan mengatur sesuatu yang berpasang-pasangan tersebut dengan keseimbangan. Ada laki-laki ada perempuan, ada kecil ada besar, ada miskin ada kaya. Satu sama lain ada keseimbangan dan saling ketergantungan. Yang satu tidak bisa dilepaskan dari yang lainnya.
Oleh karenanya, sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan sudah direncanakan-Nya dan manusia yang bertindak untuk melaksanakan, mengerjakan rencana Tuhan tersebut. Manusia ditutut untuk bekerja keras dan berpikir semaksimal mungkin dalam melaksanakan rencana tersebut.
Kemiskinan jika kita lihat sebagai tardir dari Tuhan maka kita akan terperangkap pada sikap fatalisme yang tidak memberi solusi pemecahan dan mengubah keadaan. Manusia dituntut untuk mengubah keadaannya sendiri. Bukankah Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat, bangsa dan negara) sampai kaum tersebut mengubah sendiri keadaannya.
Maka dari itu, untuk mencapai sebuah perubahan harus mampu memanfaatkan potensi yang ada pada manusia dengan optimal, baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks kemasyarakatan, berbangsa dam bernegara, kemiskinan bukan sekedar tanggung jawab individu, namun lebih pada tanggung jawab kolektif. Karena, sebagaimana penciptaan yang selalu berpasangan dan saling ketergantungan satu sama lain, seperti halnya kemiskinan.
Tidak mungkin tegak sesuatu yang besar tanpa sesuatu yang kecil, dan tak mungkin ada orag yang kaya tanpa ada orang yang miskin. Semua itu adalah kodrat alam, tinggal bagaimana manusia mengatur keseimbangan keduanya, sebagaimana rencana Tuhan tentang kseimbangan ciptaan-Nya. Manusia mengatur ciptaan Tuhan yang ada di bumi dengan sebuah sistem. Dan sisitem itu diharapkan mampu membentuk keseimbangan sehingga tidak ada lagi ketimpangan sosial dan ketidak-adilan antara si kaya dan si miskin.
Tuhan pun juga memberikan solusi tentang bagaimana manusia membentuk suatu keseimbangan, seperti konsep zakat, infaq dan shodaqoh. Tapi, bila saat ini masih banyak orang miskin yang masih kelaparan dan anak-anak terlantar dimana-mana, bukan salah orang miskin dengan takdirnya, namun lebih pada bagaimana sistem yang dibuat manusia olehnya mengatur keseimbangan yang ada disekelilingnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar