Ada-ada saja orang sekarang. Juragan ayam naik haji, disebut “haji ayam.” Itu yang terjadi pada tetangga saya ketika naik haji. Lain halnya dengan teman saya. Hanya karena punya 'panenan' tomat yang kebetulan harganya oke, lalu naik haji, diapun disebut “haji tomat.” Itulah kehidupan, yang penuh dengan warna-warni pandangan.
Penyebutan semacam tadi, bukan berarti tanpa alasan. Mereka menyebut semacam itu berangkat dari sebuah pengalaman dan kenyataan. Walaupun hal seperti itu kadang bisa benar, kadang juga bisa salah. Itulah manusia kadang benar, kadang salah. Dan yang pasti manusia itu tak luput dari kesalahan. Bukankah Nabi pernah mengatakan, “al-insan mahall al-khatha’ wa al-nisyan”, manusia itu tempatnya salah dan lupa.
Haji memang memunculkan banyak pandangan, banyak banyolan. Sampai-sampai banyak juga dana haji yang hilang (karena dikorupsi). Tapi yang pasti dalam haji harus banyak uang. Apakah haji memang seperti itu? Ataukah haji sekedar ritual thawaf, wuquf, sa’i dan seterusnya?
Selain mengandung pesan transendental [(ibadah mahdhah) karena termasuk dari rukun Islam], haji juga mengandung pesan sosial (ibadah ghair al-mahdhah), dimana dalam pesan sosial tersebut terdapat unsur persamaan nilai kemanusiaan dan pengamalan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Persamaan nilai kemanusiaan ini dapat dilihat dari isi khuthbah Nabi pada haji wada’ (haji perpisahan) yang intinya menekankan: (1) persamaan; (2) kaharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain; (3) larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik dibidang ekonomi mupun dibidang-bidang lain.
Pengamalan nilai-nilai kemanusiaan universal -sebagaimana dikatakan Dr. KH. M. Quraish Shihab– dapat diamati dari ritual ibadah haji. Pertama, Haji dimulai dengan pakaian ihram. Ini menunjukkan tidak ada perbedaan diantara makhluk Tuhan. Karena pakaian adalah salah satu pembeda terhadap status sosial, ekonomi atau profesi seseorang.
Kedua, Dengan pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku haji. Di sini menunjukkan adanya sikap disiplin, dimana pelaku haji telah masuk pada sebuah sistem.
Ketiga, Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Dari sini kita dapat merefleksikan pengalaman Nabi Isma’il, Nabi Ibrahim, serta istrinya, Hajar.
Keempat, Dalam thawaf pelaku haji berbaur dengan manusia lain. Ini menunjukkan kebersamaan untuk meraih satu tujuan yang sama, yakni berada dalam lingkungan Tuhan.
Kelima, Di Arafah mereka seharusnya menemukan ma’rifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, dan di sana ia menyadari langkah-langkahnya selama ini. Karena di Arafah mereka akan wuquf (berhenti) sampai terbenamnya matahari.
Keenam, Dari Arafah, jamaah haji pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata dalam menghadapi musuh utama yaitu Setan. Kemudian jamaah haji melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka kepada Setan, dengan melemparinya batu kerikil.
Demikianlah haji, yang terkumpul dalam simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan universal. Bukan Cuma sekedar sebutan “haji ayam” atau “haji jahe” dan bukan pula gelar “H” di depan namanya ataupun sebutan “abah” untuk memanggilnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar