Karena manusia tersusun dari berbagai macam unsur yang saling bertentangan, maka watak unsur-unsur ini akan saling berbeda. Dan kenikmatan yang cocok dengan satu unsur tidak sesuai dengan kenikmatan bagi unsur lawannya. Maka tidak ada kenikmatan yang benar-benar bebas dari derita.
Tapi karena manusia juga memiliki satu substansi lain yang sederhana, yang sifatnya ilahi, dimana substansi ini tidak dapat bercampur dengan satupun dari unsur-unsur fisik yang ada, maka dia dapat merasakan jenis kenikmatan yang berbeda dengan kenikmatan-kenikmatan lain, lantaran kenikmatan ini sederhana.
Cinta yang ditimbulkan oleh kenikmatan ini adalah cinta yang membara hingga berubah menjadi kasih sayang yang sempurna dan murni, yang serupa dengan ekstase (walh). Inilah cinta ilahi yang sering disebut-sebut dimiliki sebagian orang yang berupaya menyatu dengan Tuhan. Ini pulalah yang diungkapkan Aristoteles, yang mengutip Heraclitus, bahwa segala sesuatu yang berbeda tidak sama satu sama lain, dan karenanya tidak bisa bersatu dalam keselarasan yang baik.
Segala sesuatu yang sama saling tertarik dan mendambakan. Atas dasar hal ini, dapat disimpulkan bahwa substansi-substansi yang sederhana itu saling sama dan rindu terhadap yang lainnya, maka akan harmonislah substansi-substansi tersebut. Kalau sudah harmonis, maka substansi-substansi tadi menjadi sesuatu yang tunggal yang tak ada hal lain di dalamnya. Karena hal lain itu terjadi pada materi. Segala sesuatu yang terbentuk dari materi, yaitu benda-benda –kendatipun benda-benda ini berupaya untuk mendapatkan keharmonisan– tidak dapat menyatu. Sebab persatuan benda-benda terjadi pada ujung dan permukaannya saja, bukan pada esensinya. Kalau terjadi persatuan dengan cara begini, akan cepat lepas. Benda-benda menyatu hanya sekedar kapasitasnya. Maksudya, hanya permukaannya saja yang menyatu.
Dengan demikian, kalau substansi ilahi yang terdapat pada diri manusia terbebas dari keseluruhannya lantaran berhubungan dengan materi, dan jika tidak terpikat hawa nafsu dan keinginan akan kehormatan, maka substansi ini akan merindukan sesuatu sepertinya, dan akan melihat, melalui mata kecerdasannya, “Kebaikan Sejati Pertama”, yang tidak tercemari materi, dan akan bergegas ke sana. Pada saat seperti itulah cahaya “Kebaikan Pertama” itu akan terpancar kepadanya. Kenikmatan yang diresapinya tak ada tandingannya. Entah ia memanfaatkan Wadag kasar atau tidak, ia akan mencapai makna menyatu. Ia akan lebih patut mendapat derajat tinggi ini setelah sepenuhnya terbebas dari jasad kasar. Karena ia tidak akan bebas sepenuhnya kecuali kalau sudah terlepas dari kehidupan duniawi.
Di antara kebajikan-kebajikan cinta ilahi ini ialah; tidak akan berkurang, tidak ternoda oleh umpat dan fitnah, tidak ada seorang raja manapun yang menentangnya, dan terjadi di kalangan orang-orang bijak saja.[]
Source: Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhak; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, (terj.) Helmi Hidayat, dari judul asli Tahdib al-Akhlaq, (Bandung: Mizan, 1998), cet. iv
Jumat, 23 Maret 2012
Cinta
Cinta mempunyai berbagai jenis dan sebab. Pertama, cinta yang terjalin dengan cepat, tapi pupusnya juga cepat; kedua, cinta yang terjalin dengan cepat, tapi pupusnya lambat; ketiga, cinta yang terjalin lambat, tapi pupusnya cepat; keempat, cinta yang terjalin dengan lambat, tapi pupusnya lambat.
Terbaginya cinta menjadi jenis ini hanya karena sasaran yang menjadi tujuan kehendak dan tindakan manusia ada tiga, dan ketiganya berpadu membentuk sasaan keempatnya. Keempat sasaran ini adalah kenikmatan, kebaikan, kegunaan dan paduan ketiganya. Karena inilah sasaran yang berupaya dicapai manusia, maka tentunya ini pulalah penyebab cinta pada mereka yang membatu mencapainya.
Cinta yang timbul karena kenikmatan adalah cinta yang terjalin cepat, tapi pupusnya juga cepat. Hal ini karena kenikmatan cepat berubah. Cinta yang timbul karena kebaikan adalah cinta yang terjalin cepat, tapi pupusnya lambat. Cinta yang timbul karena manfaat adalah cinta yang terjalin lambat, namun pupusnya cepat. Adapun cinta yang timbul karena paduan sebab-sebab di atas, apabila paduan ini mencangkup kebaikan, maka cinta seperti itu terjalin lambat, tapi pupusnya lambat. Seluruh jenis cerita ini hanya terdapat pada manusia, karena cinta ini melibatkan kehendak dan pikiran dan ada perolehan dan balasan di dalamya.
Lain halnya dengan jalinan cinta pada hewan yang tak berakal. Cinta mereka lebih tepat disebut afinitas (daya tarik). Dan itupun hanya terjadi di kalangan hewan-hewan yang sejenis. Sebaliknya benda-benda yang tak berjiwa, seperti batu atau yang sejenis dengan itu misalnya, pada mereka tidak ada cinta, kecuali hanya kecenderungan alami kepada pusat-pusat yang berkenaan denganya.
Meskipun demikian, ada kalanya juga di antara benda-benda mati ini terjadi perbedaan atau kesamaan yang didasarkan pada temperamennya yang terbentuk dari unsur-unsur pertamanya. Temperamen ini banyak jumlahnya. Kalau kemudian di antaranya ada satu hal yang dihubungan proporsi selaras, proporsi angka atau geometris, maka akan terjadilah bermacam-macam bentuk kesamaan pada benda-benda mati tersebut.
Dengan demikian, apabila terjadi kebalikan dari masing-masing proporsi itu, maka dengan sendirinya akan terjadi pula perbedaan pada bendabenda itu. Kebalikan itu juga akan memiliki ciri-ciri khas yang merupakan daya-daya unik, dan yang disebut rahasia-rahasia alam. Ini terjadi khususnya dalam kasus proporsi keselarasan, yang merupakan proporsi paling mulia setelah hubungan persamaan.
Temperamen-temperamen yang didasarkan pada proporsi-proporsi ini masih merupakan misteri yang sulit terpecahkan. Daya dan ciri khas yang terjadi pada temperamen sebagai hasil dari proporsi-proprosi di atas tidak terdapat pada unsur-unsur primer itu sendiri.[]
Source: Ibn Miskawaih, Menuju kesempurnaan Akhak; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, (terj.) Helmi Hidayat, dari judul asli Tahdib al-Akhlaq, (Bandung: Mizan, 1998), cet. iv
Terbaginya cinta menjadi jenis ini hanya karena sasaran yang menjadi tujuan kehendak dan tindakan manusia ada tiga, dan ketiganya berpadu membentuk sasaan keempatnya. Keempat sasaran ini adalah kenikmatan, kebaikan, kegunaan dan paduan ketiganya. Karena inilah sasaran yang berupaya dicapai manusia, maka tentunya ini pulalah penyebab cinta pada mereka yang membatu mencapainya.
Cinta yang timbul karena kenikmatan adalah cinta yang terjalin cepat, tapi pupusnya juga cepat. Hal ini karena kenikmatan cepat berubah. Cinta yang timbul karena kebaikan adalah cinta yang terjalin cepat, tapi pupusnya lambat. Cinta yang timbul karena manfaat adalah cinta yang terjalin lambat, namun pupusnya cepat. Adapun cinta yang timbul karena paduan sebab-sebab di atas, apabila paduan ini mencangkup kebaikan, maka cinta seperti itu terjalin lambat, tapi pupusnya lambat. Seluruh jenis cerita ini hanya terdapat pada manusia, karena cinta ini melibatkan kehendak dan pikiran dan ada perolehan dan balasan di dalamya.
Lain halnya dengan jalinan cinta pada hewan yang tak berakal. Cinta mereka lebih tepat disebut afinitas (daya tarik). Dan itupun hanya terjadi di kalangan hewan-hewan yang sejenis. Sebaliknya benda-benda yang tak berjiwa, seperti batu atau yang sejenis dengan itu misalnya, pada mereka tidak ada cinta, kecuali hanya kecenderungan alami kepada pusat-pusat yang berkenaan denganya.
Meskipun demikian, ada kalanya juga di antara benda-benda mati ini terjadi perbedaan atau kesamaan yang didasarkan pada temperamennya yang terbentuk dari unsur-unsur pertamanya. Temperamen ini banyak jumlahnya. Kalau kemudian di antaranya ada satu hal yang dihubungan proporsi selaras, proporsi angka atau geometris, maka akan terjadilah bermacam-macam bentuk kesamaan pada benda-benda mati tersebut.
Dengan demikian, apabila terjadi kebalikan dari masing-masing proporsi itu, maka dengan sendirinya akan terjadi pula perbedaan pada bendabenda itu. Kebalikan itu juga akan memiliki ciri-ciri khas yang merupakan daya-daya unik, dan yang disebut rahasia-rahasia alam. Ini terjadi khususnya dalam kasus proporsi keselarasan, yang merupakan proporsi paling mulia setelah hubungan persamaan.
Temperamen-temperamen yang didasarkan pada proporsi-proporsi ini masih merupakan misteri yang sulit terpecahkan. Daya dan ciri khas yang terjadi pada temperamen sebagai hasil dari proporsi-proprosi di atas tidak terdapat pada unsur-unsur primer itu sendiri.[]
Source: Ibn Miskawaih, Menuju kesempurnaan Akhak; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, (terj.) Helmi Hidayat, dari judul asli Tahdib al-Akhlaq, (Bandung: Mizan, 1998), cet. iv
Selasa, 13 Maret 2012
Elemen-elemen dalam Pesantren
Pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pasti memiliki elemen yang ada di dalamnya. Setidaknya ada lima elemen, antara lain;
Pertama, Pondok. Pondok merupakan asrama bagi para santri, dimana para santri tinggal di kamar-kamar yang disediakan oleh kyainya dan ada pula santri itu yang membangun sendiri tempat tinggalnya. Biasanya pada setiap kamarnya berisikan antara sepuluh sampai dua puluh anak.
Keberadaan pondok (asrama) ini tentunya tidak semata-mata hanya sebagai elemen dari pesantren. Setidaknya ada tiga alasan kenapa harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, adanya santri yang datang dari jauh. Kedua, keberadaan pesantren yang banyak di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan yang cukup untuk menampung santri. Ketiga, ada sikap timbal balik (feed back) antara kyai dan santri, dimana kyai dianggap sebagai bapak dan santri dianggap sebagai anak.
Kedua, masjid. kedudukan masjid merupakan sentral pendidikan dalam tradisi pesantren. Dalam sejarah banyak menyebutkan bahwa latar belakang berdirinya sebuah pesantren terinspirasi oleh adanya masjid. Selain itu masjid juga merupakan sarana peribadatan bagi umat Islam, dimana setiap harinya dipakai untuk sholat berjama’ah lima waktu serta sholat jum’at setiap hari jum’atnya.
Ketiga, pembelajaran kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning). Kitab kuning adalah sesuatu yang tidak bisa terpisahkan dari tradisi pesantren, dimana para santri memahami dan memperdalam agama Islam lewat kitab-kitab tersebut. Sampai-sampai hampir seluruh pesantren mengajarkan kitab yang sama, sehingga menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultural dan praktek-praktek keagamaan.
Keempat, santri. Santri adalah murid dari kyai atau orang yang menuntut ilmu (tholab al ilm). Jadi santri merupakan elemen yang sangat penting dalam pesantren. Dalam tradisi pesantren ada dua kelompok santri. Pertama, santri mukim, yaitu santri yang menetap dalam pesantren, biasanya yang berasal dari daerah jauh. Kedua, santri kalong, yaitu santri yang berasal dari daerah sekeliling pesantren yang biasanya tidak menetap di pesantren.
Kelima, kyai. Kyai adalah sebagai pemimpin dan guru utama para santri. Pada umumnya kyai ini juga disebut sebagai ‘ulama (orang yang ahli tentang agama Islam). Dalam pesantren posisi kyai selain sebagai sentral kebijakan juga menjadi sentral kebajikan. Istilah kyai sebenarnya berasal dari bahasa jawa yang diperuntukkan bagi tiga jenis gelar kehormatan bagi barang yang dianggap keramat, gelar kehormatan untuk orang tua pada umumnya dan yang terakhir sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat pada seorang ahli agama Islam atau pemimpin pesantren.
Pada kenyataannya, kyai dalam masyarakat diposisikan sebagai orang tua (yai) yang mengerti tentang semua hal. maka tak heran, bukan masalah tentang keagamaanansich yang ditanyakan pada seorang kyai, tapi juga masalah-masalah dari segi kehidupan, seperti mau beli tanah, mau menikah, masalah perekonomian, sampai pada masalah politik sekaligus.
Terlepas dari posisi dan peran kyai secara universal, kyai adalah elemen esensial dalam pesantren selain sebagai pendiri atau pemimpin pesantren, kemampuan dan karakter seorang kyai juga menentukan terhadap corak dari suatu pesantren. Ini dibuktikan bahwa keberadaan pesantren lebih dominan dinisbatkan kepada kyai ketimbang pada pesantren itu sendiri.
Source:
Pertama, Pondok. Pondok merupakan asrama bagi para santri, dimana para santri tinggal di kamar-kamar yang disediakan oleh kyainya dan ada pula santri itu yang membangun sendiri tempat tinggalnya. Biasanya pada setiap kamarnya berisikan antara sepuluh sampai dua puluh anak.
Keberadaan pondok (asrama) ini tentunya tidak semata-mata hanya sebagai elemen dari pesantren. Setidaknya ada tiga alasan kenapa harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, adanya santri yang datang dari jauh. Kedua, keberadaan pesantren yang banyak di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan yang cukup untuk menampung santri. Ketiga, ada sikap timbal balik (feed back) antara kyai dan santri, dimana kyai dianggap sebagai bapak dan santri dianggap sebagai anak.
Kedua, masjid. kedudukan masjid merupakan sentral pendidikan dalam tradisi pesantren. Dalam sejarah banyak menyebutkan bahwa latar belakang berdirinya sebuah pesantren terinspirasi oleh adanya masjid. Selain itu masjid juga merupakan sarana peribadatan bagi umat Islam, dimana setiap harinya dipakai untuk sholat berjama’ah lima waktu serta sholat jum’at setiap hari jum’atnya.
Ketiga, pembelajaran kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning). Kitab kuning adalah sesuatu yang tidak bisa terpisahkan dari tradisi pesantren, dimana para santri memahami dan memperdalam agama Islam lewat kitab-kitab tersebut. Sampai-sampai hampir seluruh pesantren mengajarkan kitab yang sama, sehingga menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultural dan praktek-praktek keagamaan.
Keempat, santri. Santri adalah murid dari kyai atau orang yang menuntut ilmu (tholab al ilm). Jadi santri merupakan elemen yang sangat penting dalam pesantren. Dalam tradisi pesantren ada dua kelompok santri. Pertama, santri mukim, yaitu santri yang menetap dalam pesantren, biasanya yang berasal dari daerah jauh. Kedua, santri kalong, yaitu santri yang berasal dari daerah sekeliling pesantren yang biasanya tidak menetap di pesantren.
Kelima, kyai. Kyai adalah sebagai pemimpin dan guru utama para santri. Pada umumnya kyai ini juga disebut sebagai ‘ulama (orang yang ahli tentang agama Islam). Dalam pesantren posisi kyai selain sebagai sentral kebijakan juga menjadi sentral kebajikan. Istilah kyai sebenarnya berasal dari bahasa jawa yang diperuntukkan bagi tiga jenis gelar kehormatan bagi barang yang dianggap keramat, gelar kehormatan untuk orang tua pada umumnya dan yang terakhir sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat pada seorang ahli agama Islam atau pemimpin pesantren.
Pada kenyataannya, kyai dalam masyarakat diposisikan sebagai orang tua (yai) yang mengerti tentang semua hal. maka tak heran, bukan masalah tentang keagamaanansich yang ditanyakan pada seorang kyai, tapi juga masalah-masalah dari segi kehidupan, seperti mau beli tanah, mau menikah, masalah perekonomian, sampai pada masalah politik sekaligus.
Terlepas dari posisi dan peran kyai secara universal, kyai adalah elemen esensial dalam pesantren selain sebagai pendiri atau pemimpin pesantren, kemampuan dan karakter seorang kyai juga menentukan terhadap corak dari suatu pesantren. Ini dibuktikan bahwa keberadaan pesantren lebih dominan dinisbatkan kepada kyai ketimbang pada pesantren itu sendiri.
Source:
- Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,(Jakarta: LP3ES, 1994), cet. vi
- Amin Haedari, et. al., Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), cet. xiv
Sabtu, 10 Maret 2012
Kenapa Manusia Harus Berpakaian?
Sering kita jumpai di media cetak maupun elektronik pemberitaan tentang kelakuan sekumpulan orang yang -menurut saya- tergolong abnormal. Bagaimana tidak! Telanjang alias bugil di tempat publik. Mereka malakukannya seolah-olah itu adalah hal yang biasa dan dianggap sesuatu yang manusiawi. Jika seperti itu, apa bedanya dengan hewan?
Anehnya, kaum naturis atau nudis(sebutan bagi orang telanjang atau bugil di tempat publik) semakin mendapat tempat di masyarakat negara-negara Eropa dengan tersedianya berbagai tempat yang mengakomodasi mereka. Hal ini seakan bertolak belakang dengan kemajuan-kemajuan keilmuan yang mereka banggakan, namun dengan peradaban yang semakin rendah.
Sekitar Nopember 2011 pemerintah Swiss melalui Mahkamah Agung mengeluarkan aturan terbaru yang melarang siapapun berkeliaran di tempat publik tanpa busana. Itu berarti aparat terkait dapat menangkap mereka yang melakukan aktifitas tanpa busana di tempat publik. Mahkamah Agung negara tersebut beralasan bahwa, ”Melakukan aktivitas tanpa busana di tempat publik adalah sebuah pelanggaran terhadap adat kesopanan.”
Etika dalam Berpakaian
Ada beberapa alasan kenapa kita berpakaian. Bagi orang beragama tentu sudah mengerti, kenapa harus berpakaian? Selain etika berpakaian, menutup aurat adalah hal terpenting dalam berpakaian. Walaupun banyak penafsiran tentang pakaian sebagai penutup aurat, setidaknya sebagai manusia yang berpikir dan diberi akal oleh Tuhan, bisa dipikirkan, apa gunanya berpakaian jika tidak menutup aurat? Terserah bagaimana menafsirkan pakaian tersebut, yang penting menutup aurat.
Berikut beberapa etika dalam berpakaian yang saya kutip dari organisasi.org:
1. Menutup Aurat Bagian Tubuh
Sering kita jumpai gadis atau wanita yang tidak menutup aurat dengan bajunya, sehingga dapat memunculkan rangsangan kepada kaum laki-laki yang melihatnya. Begitupun sebaliknya kaum laki-laki yang tidak menutup aurat. Ada banyak pilihan pakaian yang tertutup dan sopan yang bisa digunakan tanpa mengurangi kecantikan/ketampanan seseorang. Seharusnya pemerintah memberikan teguran atau mungkin hukuman bagi orang-orang yang mengumbar tubuhnya.
2. Sesuai Dengan Tujuan, Situasi dan Kondisi Lingkungan
Jika ingin sekolah gunakanlah pakaian seragam sekolah, bukan pakaian untuk tidur (piyama), renang, kerja, dan lain-lain. Apabila suhu di luar rumah sangat dingin, gunakanlah jaket yang tebal, bukan memakai pakaian tipis.
3. Tampak Rapi, Bersih, Sehat, dan Ukurannya Pas
Pakaian yang dipakai sebaiknya pakaian yang telah dicuci bersih, disetrika rapi dan jika dipakai tidak kebesaran maupun kekecilan. Bisa diraba sendiri bagaimana pakaian yang kebesaran dan kekecilan. Pakaian yang kotor merupakan sarang penyakit bagi kita diri sendiri maupun kepada oang lain yang ada di sekitarnya.
4. Tidak Mengganggu Orang Lain
Pakailah baju-baju yang biasa-biasa saja tidak mengganggu akifitas maupun kenyamanan orang lain. Misalnya menggunakan gaun wanita dengan ekor puluhan meter, baju kebesaran dengan banyak kain berikut dengan warnanya yang gelap sangat tidak pantas jika kita gunakan di tempat seperti di bus umum.
5. Tidak Melanggar Hukum Negara dan Hukum Agama
Sebelum memakai pakaian ada baiknya diingat-ingat dulu hukum di dalam maupun di luar negeri. Hindari memakai pakaian yang bertentangan dengan adat istiadat, hukum budaya yang berlaku di tempat tersebut. Di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung.
Trend dan Mode
Semakin berkembangnya zaman tentu perkembangan budaya juga tak lepas darinya, termasuk budaya berpakaian (trend dan mode). Saat ini masyarakat banyak disuguhi oleh beraneka macam trend dan mode yang kadang membuat saya atau mungkin kebanyakan masyarakat menjadi geli jika melihatnya.
Namun yang perlu digaris bawahi adalah manfaat dan tujuan berpakaian itu sendiri sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Trend atau mode itu tidak salah dan malah akan menjadi seni yang menarik jika itu semua bisa di tempatkan pada tempatnya. Masyarakat pun tidak akan munafik akan hal itu.
Sebagai manusia yang memiliki naluri seni walaupun cuma sedikit tentu akan berkreasi dengan ide-ide berpakaian. Namun di sisi lain manusia itu juga makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lain dan berpijak pada tempat yang memiliki budaya, tradisi maupun aturan, seyogyanyalah berpakaian itu menjadi sebuah pertimbangan.
Harapannya, pakaian itu bisa menjadikan manusia lebih bermartabat, manjadi salah satu pembeda antara manusia dan hewan, selain akal dan verbalnya manusia. Sebagaimana tujuan pendidikan, pakaian juga menjadi -bukan sekedar- sebuah simbol bahwa kita benar-benar telah memanusiakan manusia.[]
Source:
vivanews.com
organisasi.org
aswaja-nu.com
nu.or.id
Anehnya, kaum naturis atau nudis(sebutan bagi orang telanjang atau bugil di tempat publik) semakin mendapat tempat di masyarakat negara-negara Eropa dengan tersedianya berbagai tempat yang mengakomodasi mereka. Hal ini seakan bertolak belakang dengan kemajuan-kemajuan keilmuan yang mereka banggakan, namun dengan peradaban yang semakin rendah.
Sekitar Nopember 2011 pemerintah Swiss melalui Mahkamah Agung mengeluarkan aturan terbaru yang melarang siapapun berkeliaran di tempat publik tanpa busana. Itu berarti aparat terkait dapat menangkap mereka yang melakukan aktifitas tanpa busana di tempat publik. Mahkamah Agung negara tersebut beralasan bahwa, ”Melakukan aktivitas tanpa busana di tempat publik adalah sebuah pelanggaran terhadap adat kesopanan.”
Etika dalam Berpakaian
Ada beberapa alasan kenapa kita berpakaian. Bagi orang beragama tentu sudah mengerti, kenapa harus berpakaian? Selain etika berpakaian, menutup aurat adalah hal terpenting dalam berpakaian. Walaupun banyak penafsiran tentang pakaian sebagai penutup aurat, setidaknya sebagai manusia yang berpikir dan diberi akal oleh Tuhan, bisa dipikirkan, apa gunanya berpakaian jika tidak menutup aurat? Terserah bagaimana menafsirkan pakaian tersebut, yang penting menutup aurat.
Berikut beberapa etika dalam berpakaian yang saya kutip dari organisasi.org:
1. Menutup Aurat Bagian Tubuh
Sering kita jumpai gadis atau wanita yang tidak menutup aurat dengan bajunya, sehingga dapat memunculkan rangsangan kepada kaum laki-laki yang melihatnya. Begitupun sebaliknya kaum laki-laki yang tidak menutup aurat. Ada banyak pilihan pakaian yang tertutup dan sopan yang bisa digunakan tanpa mengurangi kecantikan/ketampanan seseorang. Seharusnya pemerintah memberikan teguran atau mungkin hukuman bagi orang-orang yang mengumbar tubuhnya.
2. Sesuai Dengan Tujuan, Situasi dan Kondisi Lingkungan
Jika ingin sekolah gunakanlah pakaian seragam sekolah, bukan pakaian untuk tidur (piyama), renang, kerja, dan lain-lain. Apabila suhu di luar rumah sangat dingin, gunakanlah jaket yang tebal, bukan memakai pakaian tipis.
3. Tampak Rapi, Bersih, Sehat, dan Ukurannya Pas
Pakaian yang dipakai sebaiknya pakaian yang telah dicuci bersih, disetrika rapi dan jika dipakai tidak kebesaran maupun kekecilan. Bisa diraba sendiri bagaimana pakaian yang kebesaran dan kekecilan. Pakaian yang kotor merupakan sarang penyakit bagi kita diri sendiri maupun kepada oang lain yang ada di sekitarnya.
4. Tidak Mengganggu Orang Lain
Pakailah baju-baju yang biasa-biasa saja tidak mengganggu akifitas maupun kenyamanan orang lain. Misalnya menggunakan gaun wanita dengan ekor puluhan meter, baju kebesaran dengan banyak kain berikut dengan warnanya yang gelap sangat tidak pantas jika kita gunakan di tempat seperti di bus umum.
5. Tidak Melanggar Hukum Negara dan Hukum Agama
Sebelum memakai pakaian ada baiknya diingat-ingat dulu hukum di dalam maupun di luar negeri. Hindari memakai pakaian yang bertentangan dengan adat istiadat, hukum budaya yang berlaku di tempat tersebut. Di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung.
Trend dan Mode
Semakin berkembangnya zaman tentu perkembangan budaya juga tak lepas darinya, termasuk budaya berpakaian (trend dan mode). Saat ini masyarakat banyak disuguhi oleh beraneka macam trend dan mode yang kadang membuat saya atau mungkin kebanyakan masyarakat menjadi geli jika melihatnya.
Namun yang perlu digaris bawahi adalah manfaat dan tujuan berpakaian itu sendiri sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Trend atau mode itu tidak salah dan malah akan menjadi seni yang menarik jika itu semua bisa di tempatkan pada tempatnya. Masyarakat pun tidak akan munafik akan hal itu.
Sebagai manusia yang memiliki naluri seni walaupun cuma sedikit tentu akan berkreasi dengan ide-ide berpakaian. Namun di sisi lain manusia itu juga makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lain dan berpijak pada tempat yang memiliki budaya, tradisi maupun aturan, seyogyanyalah berpakaian itu menjadi sebuah pertimbangan.
Harapannya, pakaian itu bisa menjadikan manusia lebih bermartabat, manjadi salah satu pembeda antara manusia dan hewan, selain akal dan verbalnya manusia. Sebagaimana tujuan pendidikan, pakaian juga menjadi -bukan sekedar- sebuah simbol bahwa kita benar-benar telah memanusiakan manusia.[]
Source:
vivanews.com
organisasi.org
aswaja-nu.com
nu.or.id
Selasa, 06 Maret 2012
Kenapa Harus Sabar?
Banyak orang mengatakan: “sabar itu ada batasnya” apa benar? menurutku sih tidak! sabar kok pakai batas segala! Mungkin orang yang katakan itu telah lupa sebuah cerita tentang kesabaran Nabi ketika terus-menerus tiap hari diludahi oleh kafir Quraisy.
Nabi adalah tokoh sentral sekaligus teladan bagi umat Islam, kenapa umatnya lupa untuk meneladaninya? menurutku sih bukan soal meneladani atau tidak! tapi lebih pada faktor psikologi. Maklumlah, kalau ngomong soal yang berhubungan dengan agama terlalu dalam masih kurang pengetahuan, alias gak begitu hafal dan memahami Al Qur’an dan Hadits. Kenapa faktor psikologi? Ya! Karena psikologi selalu berhubungan dengan hati dan akal manusia.
Coba rasakan bagaimana perasaan hati dan akal ketika kita berlaku sabar terhadap sesuatu? Binggung, gundah, resah, galau atau tenang! Tentu jawabnya tenang.
Kesabaran seseorang akan berpengaruh terhadap segala tindakan yang dikerjakan. Dengan sabar otak kita menjadi jernih sehingga memudahkan otak kita dalam berfikir termasuk menerima sesuatu dengan jernih pula. Kalau otak kita sudah jernih tentunya berdampak pada fikiran yang jernih. Inilah yang apabila diaktualisasikan dalam tindakan akan menjadi tindakan yang benar dan bijak. Perlu digaris bawahi bahwa benar belum tentu bijak.
Hati tenang tentu dimulai dari tindakan sabar. Lebih-lebih di saat sedang berpuasa. Ini menjadi ajang pergulatan kesabaran kita. Kesabaran kita di uji. Hati kita di uji. Akal dan fikiran kita di uji. Tinggal bagaimana menyikapinya. Mampukah menghadapi ujian ini? Sabar dalam menjalani puasa tentunya bukan sekedar tidak makan dan minum. Namun puasa lebih pada menahan sesuatu yang bersifat duniawi.
Banyak ulama mengatakan kalau puasa itu tidak sekedar menjalankan kewajiban dhohir seperti, menahan makan dan minum, tidak melakukan hubungan suami istri dan sebagainya. Namun puasa itu juga memiliki kewajiban batin yang tak kalah pentingnya seperti, menjaga telinga untuk tidak mendengar sesuatu yang berbau maksiat dan kejelekan, menjaga mulut dari ucapan kotor, menjaga hati dari sifat iri, dengki, dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini tentu kuncinya adalah sabar. Jadi, sabar memiliki makna yang sangat luas dan seakan-akan sabar menjadi muara dari segala tindakan kita.
Menjalani sabar itu memang sulit, apalagi di saat pikiran kita sedang dalam keadaan kacau. Seakan tak ingat apa-apa, yang teringat adalah emosi tinggi yang meledak-ledak (hmm... pengalam pribadi). Mata kita seakan buta, telinga seakan tuli, dan hidung tak bisa mencium bau apa-apa selain rasa emosi.
Dalam sisi lain ada keyakinan bahwa kita pasti bisa melakukan yang namanya "sabar." Mungkin kita belum mencoba atau tak tahu bagaimana caranya. Semua tergantung pada diri kita masing-masing. Niat dan keberanian untuk memulai bukan hanya sekedar mencoba.[]
Nabi adalah tokoh sentral sekaligus teladan bagi umat Islam, kenapa umatnya lupa untuk meneladaninya? menurutku sih bukan soal meneladani atau tidak! tapi lebih pada faktor psikologi. Maklumlah, kalau ngomong soal yang berhubungan dengan agama terlalu dalam masih kurang pengetahuan, alias gak begitu hafal dan memahami Al Qur’an dan Hadits. Kenapa faktor psikologi? Ya! Karena psikologi selalu berhubungan dengan hati dan akal manusia.
Coba rasakan bagaimana perasaan hati dan akal ketika kita berlaku sabar terhadap sesuatu? Binggung, gundah, resah, galau atau tenang! Tentu jawabnya tenang.
Kesabaran seseorang akan berpengaruh terhadap segala tindakan yang dikerjakan. Dengan sabar otak kita menjadi jernih sehingga memudahkan otak kita dalam berfikir termasuk menerima sesuatu dengan jernih pula. Kalau otak kita sudah jernih tentunya berdampak pada fikiran yang jernih. Inilah yang apabila diaktualisasikan dalam tindakan akan menjadi tindakan yang benar dan bijak. Perlu digaris bawahi bahwa benar belum tentu bijak.
Hati tenang tentu dimulai dari tindakan sabar. Lebih-lebih di saat sedang berpuasa. Ini menjadi ajang pergulatan kesabaran kita. Kesabaran kita di uji. Hati kita di uji. Akal dan fikiran kita di uji. Tinggal bagaimana menyikapinya. Mampukah menghadapi ujian ini? Sabar dalam menjalani puasa tentunya bukan sekedar tidak makan dan minum. Namun puasa lebih pada menahan sesuatu yang bersifat duniawi.
Banyak ulama mengatakan kalau puasa itu tidak sekedar menjalankan kewajiban dhohir seperti, menahan makan dan minum, tidak melakukan hubungan suami istri dan sebagainya. Namun puasa itu juga memiliki kewajiban batin yang tak kalah pentingnya seperti, menjaga telinga untuk tidak mendengar sesuatu yang berbau maksiat dan kejelekan, menjaga mulut dari ucapan kotor, menjaga hati dari sifat iri, dengki, dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini tentu kuncinya adalah sabar. Jadi, sabar memiliki makna yang sangat luas dan seakan-akan sabar menjadi muara dari segala tindakan kita.
Menjalani sabar itu memang sulit, apalagi di saat pikiran kita sedang dalam keadaan kacau. Seakan tak ingat apa-apa, yang teringat adalah emosi tinggi yang meledak-ledak (hmm... pengalam pribadi). Mata kita seakan buta, telinga seakan tuli, dan hidung tak bisa mencium bau apa-apa selain rasa emosi.
Dalam sisi lain ada keyakinan bahwa kita pasti bisa melakukan yang namanya "sabar." Mungkin kita belum mencoba atau tak tahu bagaimana caranya. Semua tergantung pada diri kita masing-masing. Niat dan keberanian untuk memulai bukan hanya sekedar mencoba.[]
Kemiskinan; Takdir atau Kesalahan Sistem?
Kata “kemiskinan” atau “miskin” sering sekali kita jumpai dan sering pula kita dengar. Tak hanya dalam kehidupan sehari-hari saja, bahkan dalam teks yang dianggap sakral semisal dasar Negara bahkan sampai agama. Sebut saja UUD 1945 dan Al-Qur’an. Dalam tataran agama, Al-Qur’an menyebutkan beberapa kali kata “miskin” dan sering kali pula bersamaan dengan kata “faqir” yang kalau diamati mempunyai makna yang kurang lebih sama atau hampir sama.
Kata “miskin ini juga sering pula bersamaan dengan kata “shodaqoh” atau kata yang semakna dengannya. Dalam kehidupan bernegara kata “miskin” atau “kemiskinan” sangat fasih sekali diucapkan oleh anggota DPR, politikus dan para aparatur negara.
Dari seringnya penyebutan kata “miskin” atau “kemiskinan”, pastilah ada prioritas utama yang terdapat di dalamnya, sehingga kita tidak bisa lepas dari yang namanya “miskin”. Ada apa sebenarnya dalam kemiskinan tersebut? Kenapa sampai terjadi kemiskinan? Apakah ini memang takdir dari Tuhan? Kalaupun ini memang takdir dari Tuhan, kenapa Tuhan kok sangat kejam, membiarkan kelaparan dimana-mana, busung lapar dan anak-anak terlantar di jalanan. Kalau kita percaya akan Tuhan yang kejam berarti ada Tuhan yang baik. Kalau begitu ada dua Tuhan; Tuhan baik dan Tuhan kejam. Dan seperti itu tidak benar, karena hanya ada satu Tuhan.
Sebagai orang beragama tentunya semua akan kita kembalikan pada pedoman dasar –bagi umat Islam– adalah Al-Qur’an. Kalau kita tilik pada konsep penciptaan, kita tahu bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dengan berpasang-pasangan dan Tuhan mengatur sesuatu yang berpasang-pasangan tersebut dengan keseimbangan. Ada laki-laki ada perempuan, ada kecil ada besar, ada miskin ada kaya. Satu sama lain ada keseimbangan dan saling ketergantungan. Yang satu tidak bisa dilepaskan dari yang lainnya.
Oleh karenanya, sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan sudah direncanakan-Nya dan manusia yang bertindak untuk melaksanakan, mengerjakan rencana Tuhan tersebut. Manusia ditutut untuk bekerja keras dan berpikir semaksimal mungkin dalam melaksanakan rencana tersebut.
Kemiskinan jika kita lihat sebagai tardir dari Tuhan maka kita akan terperangkap pada sikap fatalisme yang tidak memberi solusi pemecahan dan mengubah keadaan. Manusia dituntut untuk mengubah keadaannya sendiri. Bukankah Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat, bangsa dan negara) sampai kaum tersebut mengubah sendiri keadaannya.
Maka dari itu, untuk mencapai sebuah perubahan harus mampu memanfaatkan potensi yang ada pada manusia dengan optimal, baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks kemasyarakatan, berbangsa dam bernegara, kemiskinan bukan sekedar tanggung jawab individu, namun lebih pada tanggung jawab kolektif. Karena, sebagaimana penciptaan yang selalu berpasangan dan saling ketergantungan satu sama lain, seperti halnya kemiskinan.
Tidak mungkin tegak sesuatu yang besar tanpa sesuatu yang kecil, dan tak mungkin ada orag yang kaya tanpa ada orang yang miskin. Semua itu adalah kodrat alam, tinggal bagaimana manusia mengatur keseimbangan keduanya, sebagaimana rencana Tuhan tentang kseimbangan ciptaan-Nya. Manusia mengatur ciptaan Tuhan yang ada di bumi dengan sebuah sistem. Dan sisitem itu diharapkan mampu membentuk keseimbangan sehingga tidak ada lagi ketimpangan sosial dan ketidak-adilan antara si kaya dan si miskin.
Tuhan pun juga memberikan solusi tentang bagaimana manusia membentuk suatu keseimbangan, seperti konsep zakat, infaq dan shodaqoh. Tapi, bila saat ini masih banyak orang miskin yang masih kelaparan dan anak-anak terlantar dimana-mana, bukan salah orang miskin dengan takdirnya, namun lebih pada bagaimana sistem yang dibuat manusia olehnya mengatur keseimbangan yang ada disekelilingnya.[]
Kata “miskin ini juga sering pula bersamaan dengan kata “shodaqoh” atau kata yang semakna dengannya. Dalam kehidupan bernegara kata “miskin” atau “kemiskinan” sangat fasih sekali diucapkan oleh anggota DPR, politikus dan para aparatur negara.
Dari seringnya penyebutan kata “miskin” atau “kemiskinan”, pastilah ada prioritas utama yang terdapat di dalamnya, sehingga kita tidak bisa lepas dari yang namanya “miskin”. Ada apa sebenarnya dalam kemiskinan tersebut? Kenapa sampai terjadi kemiskinan? Apakah ini memang takdir dari Tuhan? Kalaupun ini memang takdir dari Tuhan, kenapa Tuhan kok sangat kejam, membiarkan kelaparan dimana-mana, busung lapar dan anak-anak terlantar di jalanan. Kalau kita percaya akan Tuhan yang kejam berarti ada Tuhan yang baik. Kalau begitu ada dua Tuhan; Tuhan baik dan Tuhan kejam. Dan seperti itu tidak benar, karena hanya ada satu Tuhan.
Sebagai orang beragama tentunya semua akan kita kembalikan pada pedoman dasar –bagi umat Islam– adalah Al-Qur’an. Kalau kita tilik pada konsep penciptaan, kita tahu bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dengan berpasang-pasangan dan Tuhan mengatur sesuatu yang berpasang-pasangan tersebut dengan keseimbangan. Ada laki-laki ada perempuan, ada kecil ada besar, ada miskin ada kaya. Satu sama lain ada keseimbangan dan saling ketergantungan. Yang satu tidak bisa dilepaskan dari yang lainnya.
Oleh karenanya, sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan sudah direncanakan-Nya dan manusia yang bertindak untuk melaksanakan, mengerjakan rencana Tuhan tersebut. Manusia ditutut untuk bekerja keras dan berpikir semaksimal mungkin dalam melaksanakan rencana tersebut.
Kemiskinan jika kita lihat sebagai tardir dari Tuhan maka kita akan terperangkap pada sikap fatalisme yang tidak memberi solusi pemecahan dan mengubah keadaan. Manusia dituntut untuk mengubah keadaannya sendiri. Bukankah Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat, bangsa dan negara) sampai kaum tersebut mengubah sendiri keadaannya.
Maka dari itu, untuk mencapai sebuah perubahan harus mampu memanfaatkan potensi yang ada pada manusia dengan optimal, baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks kemasyarakatan, berbangsa dam bernegara, kemiskinan bukan sekedar tanggung jawab individu, namun lebih pada tanggung jawab kolektif. Karena, sebagaimana penciptaan yang selalu berpasangan dan saling ketergantungan satu sama lain, seperti halnya kemiskinan.
Tidak mungkin tegak sesuatu yang besar tanpa sesuatu yang kecil, dan tak mungkin ada orag yang kaya tanpa ada orang yang miskin. Semua itu adalah kodrat alam, tinggal bagaimana manusia mengatur keseimbangan keduanya, sebagaimana rencana Tuhan tentang kseimbangan ciptaan-Nya. Manusia mengatur ciptaan Tuhan yang ada di bumi dengan sebuah sistem. Dan sisitem itu diharapkan mampu membentuk keseimbangan sehingga tidak ada lagi ketimpangan sosial dan ketidak-adilan antara si kaya dan si miskin.
Tuhan pun juga memberikan solusi tentang bagaimana manusia membentuk suatu keseimbangan, seperti konsep zakat, infaq dan shodaqoh. Tapi, bila saat ini masih banyak orang miskin yang masih kelaparan dan anak-anak terlantar dimana-mana, bukan salah orang miskin dengan takdirnya, namun lebih pada bagaimana sistem yang dibuat manusia olehnya mengatur keseimbangan yang ada disekelilingnya.[]
Senin, 05 Maret 2012
Kearifan Masyarakat
Memang sulit ketika harus hidup dalam komunitas yang beragam. Namun menjadi si mala kama karna kita tidak bisa lepas dari kehidupan dalam suatu komunitas.
Memang inilah hidup yang harus dijalani, mampu atau tidak harus terus malaju. Sisi-sisi dalam masyarakat yang mungkin selama ini jarang ditemui atau mungkin sama sekali tak ditemui, di sinilah akan ditemui semuanya. Baik ataupun buruk sesuatu itu pastilah akan kita temui.
Dalam masyarakat pedesaan, mungkin kita masih menemukan tradisi-tradisi luhur nenek moyang yang terus dipertahankan, Kearifan Masyarakat. Namun pertanyaannya apakah tradisi-tradisi baik nenek moyang itu sekarang benar-benar terjaga dengan baik atau malah sebaliknya atau mungkin telah sirna dimakan oleh kemodernan zaman…?
Saat ini mungkin kita akan berusaha belajar untuk menggali kearifan masyarakat tersebut. Kearifan yang selama ini diagung-agungkan. Tapi masih adakah kearifan tersebut atau tinggal sisa-sisanya saja atau mungkin telah hilang sama sekali? Terus kepada siapa kita akan belajar? Ataukah kita akan menggali sendiri dengan kemampuan kita?
Inilah yang menjadi keprihatinan banyak pihak dimana kearifan masyarat itu sekarang telah mulai luntur. Mereka banyak melupakan tradisi-tradisi nenek moyang bahkan telah meninggalkannya.
Masyarakat kita sebenarnya memiliki kearifan yang agung dimana di dalamnya tersimpan sebuah tata kehidupan yang benar-benar arif dan bijaksana. Hal semacam itu tidak kita temui dalam masyarakat selain di Indonesia. Rasa kegotong-royongan, saling menolong dan saling berbagi adalah bentuk-bentuk dari kearifan itu. Sekarang semua telah terbuai dalam kesibukan masing-masing, sehingga hal-hal semacam itu sedikit-demi sedikit mulai ditinggalkan.
Kita ini adalah pewaris dan bukan orang lain yang akan melanjutkan kearifan tersebut. Kita mendapatkan sebuah warisan yang berharga namun banyak di antara kita tidak menyadarinya. Seiring berkembangnya zaman, semoga kita selalu dapat menjaga dan meneruskan nilai-nilai kearifan tersebut.[]
Memang inilah hidup yang harus dijalani, mampu atau tidak harus terus malaju. Sisi-sisi dalam masyarakat yang mungkin selama ini jarang ditemui atau mungkin sama sekali tak ditemui, di sinilah akan ditemui semuanya. Baik ataupun buruk sesuatu itu pastilah akan kita temui.
Dalam masyarakat pedesaan, mungkin kita masih menemukan tradisi-tradisi luhur nenek moyang yang terus dipertahankan, Kearifan Masyarakat. Namun pertanyaannya apakah tradisi-tradisi baik nenek moyang itu sekarang benar-benar terjaga dengan baik atau malah sebaliknya atau mungkin telah sirna dimakan oleh kemodernan zaman…?
Saat ini mungkin kita akan berusaha belajar untuk menggali kearifan masyarakat tersebut. Kearifan yang selama ini diagung-agungkan. Tapi masih adakah kearifan tersebut atau tinggal sisa-sisanya saja atau mungkin telah hilang sama sekali? Terus kepada siapa kita akan belajar? Ataukah kita akan menggali sendiri dengan kemampuan kita?
Inilah yang menjadi keprihatinan banyak pihak dimana kearifan masyarat itu sekarang telah mulai luntur. Mereka banyak melupakan tradisi-tradisi nenek moyang bahkan telah meninggalkannya.
Masyarakat kita sebenarnya memiliki kearifan yang agung dimana di dalamnya tersimpan sebuah tata kehidupan yang benar-benar arif dan bijaksana. Hal semacam itu tidak kita temui dalam masyarakat selain di Indonesia. Rasa kegotong-royongan, saling menolong dan saling berbagi adalah bentuk-bentuk dari kearifan itu. Sekarang semua telah terbuai dalam kesibukan masing-masing, sehingga hal-hal semacam itu sedikit-demi sedikit mulai ditinggalkan.
Kita ini adalah pewaris dan bukan orang lain yang akan melanjutkan kearifan tersebut. Kita mendapatkan sebuah warisan yang berharga namun banyak di antara kita tidak menyadarinya. Seiring berkembangnya zaman, semoga kita selalu dapat menjaga dan meneruskan nilai-nilai kearifan tersebut.[]
Telur Si Kakek
Seorang kakek menjadi Imam jama’ah sholat pada salah Langgar (Surau). Ketika hampir pertengahan sholat ada orang dengan pakaian ala Timur Tengah dan wajah ke-Arab-an.
Dia ikut sholat dan makmum pada kakek tersebut. Al Kisah, selesai sholat dan baca wiridan orang itu mendekati Si Kakek dan bertanya dengan nada yang agak lantang (kayak orasi politik gitu….);
“Pak Tua sholat tadi tidak sah…?!” Dengan agak bingung dan tertatih-tatih Si Kakek menjawab; “ Ngapunten, pripun kok mboten sah ?” “Bacaan Fatihah anda tidak benar (fasih),” jawab orang ke-Arab-an tadi.
Tanpa bicara Si Kakek tadi berjalan keluar Langgar dan menuju rumahnya. Selang tak beberapa lama Si Kakek kembali pada orang tersebut sambil membawa dua telur. “Monggo panjenengan cepeng tigan niki kaliyan maos Fatihah,” ucap Si Kakek sambil memberikan satu telur pada orang tersebut.
Dengan kebingunan dan gak tahu maksudnya orang tersebut memegang telur sambil baca Fatihah; “Bism Allah al rohman al rohim……” Selesai dia baca Fatihah Si Kakek berucap; “Panjenengan thuthuk tigan niku.” Orang tersebut menuruti saja permintaan Si Kakek dan kemudian memukul telur tersebut dengan tangannya, “Thos” langsung pecah telur itu.
Kemudian sambil memegang telur satunya Si Kakek juga membaca Fatihah; “Bism Allah al rohman al rohim……” Ketika orang tadi terbengong melihat tingkah Si Kakek, Si kakek menunjukkan telur tersebut dan mengelupas kulitnya, “wouhhh…” tak disangka ternyata telur itu telah matang. Orang tadi pun terheran-heran melihatnya. Di saat belum hilang kebinggungannya orang tadi, Si Kakek berucap; “Menawi kados ngenten waosan Fatihahe sinten ingkang MANDI.” Tanpa basi-basi orang tadi keluar Langgar; “Assalamu’alaikum…” “Wa’alakum al salam wa rohmat al Allah wa barokatuh” Jawab Si Kakek.
Dari sini aku pun berfikir dan timbul sebuah pertanyaan; ” Siapa sebenarnya yang benar ?” Orang ke-Arab-an yang baca Fatihah dengan baik (fasih) ataukah Si Kakek yang membaca Fatihah dengan berbagai kekurangannya ? Dengan melihat telur yang sudah matang tadi, apakah itu karena keikhlasan pembacanya ? Ataukah telur yang tidak matang tadi karena nafsu (emosi) pembacanya ? Wa Allah a’lam, Tuhan yang Maha Mengetahui.
Menurutku sih, ya… sama-sama benarnya…! Orang ke-Arab-an baca Fatihah dengan fersinya dan kemampuannya sendiri, Si Kakek baca Fatihah dengan fersinya dan kemampuannya sendiri. Yang salah itu adalah seenaknya menyalahkan dan tidak menghargai orang lain. Mungkin disitulah hati kita diuji, bagaimana kemampuan kita menata hati, menjernihkan pikiran, menghilangkan nafsu negatif yang menempel pada diri kita.[]
Dia ikut sholat dan makmum pada kakek tersebut. Al Kisah, selesai sholat dan baca wiridan orang itu mendekati Si Kakek dan bertanya dengan nada yang agak lantang (kayak orasi politik gitu….);
“Pak Tua sholat tadi tidak sah…?!” Dengan agak bingung dan tertatih-tatih Si Kakek menjawab; “ Ngapunten, pripun kok mboten sah ?” “Bacaan Fatihah anda tidak benar (fasih),” jawab orang ke-Arab-an tadi.
Tanpa bicara Si Kakek tadi berjalan keluar Langgar dan menuju rumahnya. Selang tak beberapa lama Si Kakek kembali pada orang tersebut sambil membawa dua telur. “Monggo panjenengan cepeng tigan niki kaliyan maos Fatihah,” ucap Si Kakek sambil memberikan satu telur pada orang tersebut.
Dengan kebingunan dan gak tahu maksudnya orang tersebut memegang telur sambil baca Fatihah; “Bism Allah al rohman al rohim……” Selesai dia baca Fatihah Si Kakek berucap; “Panjenengan thuthuk tigan niku.” Orang tersebut menuruti saja permintaan Si Kakek dan kemudian memukul telur tersebut dengan tangannya, “Thos” langsung pecah telur itu.
Kemudian sambil memegang telur satunya Si Kakek juga membaca Fatihah; “Bism Allah al rohman al rohim……” Ketika orang tadi terbengong melihat tingkah Si Kakek, Si kakek menunjukkan telur tersebut dan mengelupas kulitnya, “wouhhh…” tak disangka ternyata telur itu telah matang. Orang tadi pun terheran-heran melihatnya. Di saat belum hilang kebinggungannya orang tadi, Si Kakek berucap; “Menawi kados ngenten waosan Fatihahe sinten ingkang MANDI.” Tanpa basi-basi orang tadi keluar Langgar; “Assalamu’alaikum…” “Wa’alakum al salam wa rohmat al Allah wa barokatuh” Jawab Si Kakek.
Dari sini aku pun berfikir dan timbul sebuah pertanyaan; ” Siapa sebenarnya yang benar ?” Orang ke-Arab-an yang baca Fatihah dengan baik (fasih) ataukah Si Kakek yang membaca Fatihah dengan berbagai kekurangannya ? Dengan melihat telur yang sudah matang tadi, apakah itu karena keikhlasan pembacanya ? Ataukah telur yang tidak matang tadi karena nafsu (emosi) pembacanya ? Wa Allah a’lam, Tuhan yang Maha Mengetahui.
Menurutku sih, ya… sama-sama benarnya…! Orang ke-Arab-an baca Fatihah dengan fersinya dan kemampuannya sendiri, Si Kakek baca Fatihah dengan fersinya dan kemampuannya sendiri. Yang salah itu adalah seenaknya menyalahkan dan tidak menghargai orang lain. Mungkin disitulah hati kita diuji, bagaimana kemampuan kita menata hati, menjernihkan pikiran, menghilangkan nafsu negatif yang menempel pada diri kita.[]
Hukum Sang Kyai
Dalam sebuah pengajian ada salah satu hadirin bertanya pada sang Kyai, “Pak Yai gimana hukumnya baca Sholawat Nabi (Diba’) pakai lagu dangdut atau campursari?”
Dengan tegas dan tanpa basi-basi sang Kyai pun menjawab: ” Hukumnya haram”.
Orang itu bertanya lagi: ”Apa alasannya Yai?”
Sang Kyai menjawab: “Hal semacam itu sama dengan mencampur-adukkan perkara baik dan perkara batil, karena baca sholawat masuk karegori baik dan lagu dangdut atau campursari adalah kategori batil (buruk).”
Dari sini akupun timbul pertanyaan, “kenapa lagu dangdut atau campursari sampai dianggap batil (buruk).”
Padahal itu cuma sekedar lagu, musik, kok sampai segitunya. Mungkinkah karena sang Kyai gak suka lagu dangdut dan campursari, sehingga lagu tersebut dianggap batil. Padahal, tidak sedikit pula para Kyai ketika ceramah di desa-desa diselingi dengan menyanyikan lagu dangdut (ya… kayak artis gitouw).
Seandainya sang Kyai yang ditanya tadi suka lagu dangdut mungkin sang Kyai akan menjawab: “Oooww…. Gak pa-pa, why not !” (maklum Kyai sok Britist).
Ha..ha..ha…..
Hukum jadi subyektif, tergantung siapa yang buat hukum…!
Ya itulah hukum.
Kita marah karena hukum,
kita senang karena hukum,
kita sedih karena hukum,
Jadi hukum-hukuman donk….!!!
Dengan tegas dan tanpa basi-basi sang Kyai pun menjawab: ” Hukumnya haram”.
Orang itu bertanya lagi: ”Apa alasannya Yai?”
Sang Kyai menjawab: “Hal semacam itu sama dengan mencampur-adukkan perkara baik dan perkara batil, karena baca sholawat masuk karegori baik dan lagu dangdut atau campursari adalah kategori batil (buruk).”
Dari sini akupun timbul pertanyaan, “kenapa lagu dangdut atau campursari sampai dianggap batil (buruk).”
Padahal itu cuma sekedar lagu, musik, kok sampai segitunya. Mungkinkah karena sang Kyai gak suka lagu dangdut dan campursari, sehingga lagu tersebut dianggap batil. Padahal, tidak sedikit pula para Kyai ketika ceramah di desa-desa diselingi dengan menyanyikan lagu dangdut (ya… kayak artis gitouw).
Seandainya sang Kyai yang ditanya tadi suka lagu dangdut mungkin sang Kyai akan menjawab: “Oooww…. Gak pa-pa, why not !” (maklum Kyai sok Britist).
Ha..ha..ha…..
Hukum jadi subyektif, tergantung siapa yang buat hukum…!
Ya itulah hukum.
Kita marah karena hukum,
kita senang karena hukum,
kita sedih karena hukum,
Jadi hukum-hukuman donk….!!!
Sabtu, 03 Maret 2012
Membongkar Mitos Kejadian Perempuan
“Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.” [HR. Bukhari, Muslim, Tirmidi dari Abu Hurairah]
Hadits di atas menunjukkan tentang awal mula kejadian perempuan. Namun bagaimana kita memperlakukan perempuan? Apakah perempuan lebih rendah dari laki-laki? Karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.
Berbicara soal perempuan memang tidak akan ada habisnya. ada saja, sisi-sisi perempuan yang menarik untuk dibicarakan. Mulai dari wajahnya, bodynya, jalannya hingga sampai bedak apa yang dia pakai. Maka tak heran jika perempuan menjadi isu utama dalam masyarakat. Sampai-sampai dalam Al-Qur’an terdapat surat al-Nisa’ (perempuan). Ini menunjukkan ada ‘perhatian khusus’ terhadap perempuan.
Kalau kita lihat dari awal mula kejadian perempuan – dengan merujuk pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidi, dan juga pada Kitab Perjanjian Lama (Kejadian: 2: 21-22) – terlihat jelas bahwa perempuan dijadikan oleh Tuhan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Dan dalam hadits ini pula ditambahkan kata “yang bengkok”, berarti tulang rusuk yang bengkok. Dari hadits ini kita tidak bisa memandang secara sekilas, karena akan menimbulkan kesalah pahaman bahwa, perempuan itu lebih rendah dari laki-laki hanya karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Dalam memahami hadits ini, Quraish Shihab menulis: “tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadits tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersifat tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.”
Dari apa yang disampaikan oleh Quraish Shihab di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kaum lelaki tidak boleh berbuat seenaknya saja terhadap perempuan dan memandang rendah terhadap perempuan. Memang, sering kali terjadi bahwa laki-laki tidak sadar bahwa dirinya telah merendahkan derajat perempuan, namun mereka (kaum lelaki) menganggap itu biasa-biasa saja dan malah berdalih dengan dasar dari doktrin keagamaan.
Dalam hal ini kita harus berani untuk “membongkar” doktrin-doktrin keagamaan yang merendahkan derajat perempuan tersebut. Karena kita semua tahu bahwa doktrin-doktrin tersebut telah mengakar-rumput di tengah masyarakat kita. Dan tidak jarang juga, bahwa para perempuan tidak sadar bahwa dirinya direndahkan.
Maka, dari sini kita tidak akan hanya membicarakan perempuan hanya dari segi wajah, body dan tetek bengeknya, namun lebih pada hal-hal yang bersifat esensial yaitu posisi perempuan itu sendiri dan bagaimana kita “memandang” dan “memperlakukan” perempuan.
Source: M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), cet. III.
Kyai
Pesantren merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang terbilang sangat tua. Bahkan secara pasti tidak diketahui kapan awal mula keberadaan pesantren. Sebagian pakar sejarah ada yang mengatakan bahwa pesantren sudah ada pada zaman Wali Songo, sekitar abad 15.
Sebagai lembaga, pesantren mempunyai beberapa elemen yang ada di dalamnya. Setidaknya ada lima elemen; pondok, masjid, kiai, santri, pengajaran kitab kuning.
Salah satu elemen dalam pesantren adalah kyai. Kyai merupakan pemimpin pesantren, dan kadang pula juga pendiri pesantren tersebut. Kyai adalah motor dari sebuah pesantren. Berbagai macam corak pesantren banyak dipengaruhi oleh karakter seorang kyai. Paradigma kyai akan berpengaruh besar terhadap corak pesantren.
Kyai juga biasa disebut dengan ulama’. Karena makna keduanya bisa dikatakan sama, walaupun ada sedikit yang membedakannya. Sebenarnya istilah kyai ini berasal dari bahasa Jawa yang diperuntukkan bagi tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan yang diperuntukkan bagi barang yang dianggap keramat; kedua, gelar kehormatan untuk orang tua pada umumya; ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat pada seorang ahli agama Islam atau pemimpin pesantren.
Pada kenyataannya kyai dalam masyarakat diposisikan sebagai orang tua (yai) yang dianggap mengerti tentang semua hal. Maka tidak heran, bukan masalah keagamaan an sich yang ditanyakan pada kyai, tapi juga masalah dari berbagai segi kehidupan, seperti mau beli tanah, mau menikah, masalah perekonomian, sampai pada masalah politik sekaligus.
Terlepas dari kyai sebagai seorang ahli agama dan pemimpin pesantren, kyai mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Figur kyai –untuk saat ini– diharapkan mampu untuk menjadi penggerak untuk mencapai perubahan sosial menuju arah yang lebih baik. Dari keadaan yang tidak adil menjadi berkeadilan. Hal ini dikarenakan, figur seorang kyai telah melekat di tengah masyarakat Indonesia. Jadi kyai mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap perubahan sosial masyarakat.
Kyai dan pesantren-nya, tidak bisa dipungkiri juga ikut berperan dalam pembangunan. Karena pesantren sendiri adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Kyai dan pesantren tidak hanya diharapkan sebagai penggerak perubahan, namun lebih pada pelopor perubahan itu sendiri (agent of cange). Keberadaannya dalam masyarakat Indonesia diharapkan mampu memberikan alternatif pemikiran dan juga tindakan. Dalam arti kyai dan pesantrennya dituntut untuk menjawab problema-problema yang muncul kian kompleks, dengan kemampuan keagamaannya serta mampu mengendalikan tindakan yang merupakan implementasi dari pemikiran tersebut.
Tapi sangat ironis sekali, ketika kyai dan pesantren dijadikan pelopor perubahan, namun kyai dan pesantren itu sendiri alergi terhadap perubahan. Hal ini ditakutkan bahwa kyai dan pesantren tidak introspeksi diri dalam melihat kekurangan yang harus dibenahi.
Untuk itu kritik adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh kalangan pesantren terlebih kyai. Sehingga kyai dan pesantren akan terbawa pada kesadaran akan realita yang dihadapinya. Sudah saatnya kyai dan pesantren jujur pada dirinya sendiri, untuk sekedar mengungkapkan kekurangan-kekurangan, paradoks-pradoks yang ada dalam tubuh pesantren. Bukankah Imam ‘Ali pernah mengatakan: “kull al-haqqa walau kana murra”, katakanlah perkara yang benar adalah benar walaupun pahit dikatakan.
Dari sini semoga, kyai, pesantren, dan kita semua terbawa terhadap kesadaran akan realita yang ada disekeliling kita. Sehingga peran kiai, pesantren, benar-benar membawa perubahan terhadap gejala sosial yang ada.
Source:
Salah satu elemen dalam pesantren adalah kyai. Kyai merupakan pemimpin pesantren, dan kadang pula juga pendiri pesantren tersebut. Kyai adalah motor dari sebuah pesantren. Berbagai macam corak pesantren banyak dipengaruhi oleh karakter seorang kyai. Paradigma kyai akan berpengaruh besar terhadap corak pesantren.
Kyai juga biasa disebut dengan ulama’. Karena makna keduanya bisa dikatakan sama, walaupun ada sedikit yang membedakannya. Sebenarnya istilah kyai ini berasal dari bahasa Jawa yang diperuntukkan bagi tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan yang diperuntukkan bagi barang yang dianggap keramat; kedua, gelar kehormatan untuk orang tua pada umumya; ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat pada seorang ahli agama Islam atau pemimpin pesantren.
Pada kenyataannya kyai dalam masyarakat diposisikan sebagai orang tua (yai) yang dianggap mengerti tentang semua hal. Maka tidak heran, bukan masalah keagamaan an sich yang ditanyakan pada kyai, tapi juga masalah dari berbagai segi kehidupan, seperti mau beli tanah, mau menikah, masalah perekonomian, sampai pada masalah politik sekaligus.
Terlepas dari kyai sebagai seorang ahli agama dan pemimpin pesantren, kyai mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Figur kyai –untuk saat ini– diharapkan mampu untuk menjadi penggerak untuk mencapai perubahan sosial menuju arah yang lebih baik. Dari keadaan yang tidak adil menjadi berkeadilan. Hal ini dikarenakan, figur seorang kyai telah melekat di tengah masyarakat Indonesia. Jadi kyai mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap perubahan sosial masyarakat.
Kyai dan pesantren-nya, tidak bisa dipungkiri juga ikut berperan dalam pembangunan. Karena pesantren sendiri adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Kyai dan pesantren tidak hanya diharapkan sebagai penggerak perubahan, namun lebih pada pelopor perubahan itu sendiri (agent of cange). Keberadaannya dalam masyarakat Indonesia diharapkan mampu memberikan alternatif pemikiran dan juga tindakan. Dalam arti kyai dan pesantrennya dituntut untuk menjawab problema-problema yang muncul kian kompleks, dengan kemampuan keagamaannya serta mampu mengendalikan tindakan yang merupakan implementasi dari pemikiran tersebut.
Tapi sangat ironis sekali, ketika kyai dan pesantren dijadikan pelopor perubahan, namun kyai dan pesantren itu sendiri alergi terhadap perubahan. Hal ini ditakutkan bahwa kyai dan pesantren tidak introspeksi diri dalam melihat kekurangan yang harus dibenahi.
Untuk itu kritik adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh kalangan pesantren terlebih kyai. Sehingga kyai dan pesantren akan terbawa pada kesadaran akan realita yang dihadapinya. Sudah saatnya kyai dan pesantren jujur pada dirinya sendiri, untuk sekedar mengungkapkan kekurangan-kekurangan, paradoks-pradoks yang ada dalam tubuh pesantren. Bukankah Imam ‘Ali pernah mengatakan: “kull al-haqqa walau kana murra”, katakanlah perkara yang benar adalah benar walaupun pahit dikatakan.
Dari sini semoga, kyai, pesantren, dan kita semua terbawa terhadap kesadaran akan realita yang ada disekeliling kita. Sehingga peran kiai, pesantren, benar-benar membawa perubahan terhadap gejala sosial yang ada.
Source:
- Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,(Jakarta: LP3ES, 1994), cet. vi
- Amin Haedari, et. al., Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), cet. xiv
Refleksi Haflah Akhirussanah
Istilah “Haflah akhirussanah” tentunya tak asing lagi bagi umat Islam Indonesia, lebih-lebih kalangan pesantren. Istilah yang diadopsi dari bahasa Arab ini, nampaknya tidak hanya populer dimasyarakat, namun sudah sampai mengakar rumput seperti halnya bahasa sendiri. Lepas dari kepopulerannya, sebenarnya apa makna dan hikmah dariHaflah akhirussanah itu sendiri?.
Makna Haflah akhirussanah
Secara etimologi Haflah Akhirussanah merupakan gabungan dari tiga kata. Pertama,haflah, yang berarti pertemuan, perkumpulan, perayaan, pesta, upacara (A. W. Munawwir, 1997: 280); kedua, akhir, yang berarti akhir (A. W. Munawwir, 1997: 12);ketiga, sanah, yang berarti tahun (A. W. Munawwir, 1997: 670). Jadi Haflah Akhirussanah adalah perayaan atau pesta – dengan mengacu pada arti perayaan atau pesta – akhir tahun.
Secara terminologi Haflah Akhirussanah adalah – melihat pada sejarah dan perkembangan munculnya istilah ini – perayaan atau pesta yang dilaksanakan pada akhir tahun pelajaran – yang dimaksud tahun di sini bukan tahun secara umum, dalam arti tahun masehi atau hijriyah – oleh institusi pendidikan Islam baik formal maupun non formal.
Penggunaan arti perayaan atau pesta di sini, didasarkan pada kebiasaan yang dilakukan oleh institusi pendidikan Islam yang tidak hanya sekedar perkumpulan, melakukan pertemuan atau upacara. Namun juga melaksanakan kegiatan yang bersifat hiburan. Keberadaan kegiatan yang bersifat hiburan ini dimungkinkan, karena kegiatan Haflah Akhirussanah dilaksanakan setelah imtihan (ujian). Jadi hiburan tersebut ditujukan untuk membuat suasana yang santai setelah melaksanakanimtihan.
Hikmah Haflah Akhirussanah
Telah disinggung di depan bahwa Haflah Akhirussanah lebih condong pada arti perayaan atau pesta, namun perayaan atau pesta di sini bukan berarti secara umum, artinya Haflah Akhirussanah mengandung makna (hikmah) yang lebih bersifat moral dan sosial, yaitu; pertama, sikap wara’. Wara’ di sini bukan cuma sekedar keluar dari perkara subhat tetapi lebih ditekankan – seperti kata Yusup ibn Abid – pengoreksian diri dalam setiap keadaan (Risalah al-Qusyairiyah: 109-111).
Jadi, dalam konteks Haflah Akhirussanah koreksi diri sangat diperlukan, artinya apa yang dikerjakan saat ini setimpal atau seimbangkah dengan apa yang dikerjakan dalam satu tahun, baik bersifat transendental maupun sosial.
Kedua, muraqabah. Muraqabah adalah melihat Tuhan dengan mata hati dan menghubungkannya dengan perbuatan yang telah dilakukan, kemudian mengambil hikmah atau jalan yang terbaik bagi dirinya dengan mempertimbangkan dan merasakan adanya pemantauan Tuhan terhadap dirinya (Risalah al-Qusyairiyah:189). Dalam muraqabah ini hampir sama dengan wara’ dalam hal melakukan koreksi, hanya saja untuk muraqabah lebih ditekankan pada sikap transendental seseorang dan menghubungkan dengan koreksi terhadap diri sendiri.
Ketiga, sikap khauf. Khauf adalah takut terhadap kemungkinan adzab Tuhan, di dunia atau akhirat. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126). Hal ini didasarkan pada firman Allah, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Ali Imran[3]: 175). khauf di sini bertujuan agar manusia selalu mempertimbangkan tingkah lakunya. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126).
Maka, dalam moment Haflah Akhirussanah, benar-benar dituntut untuk selalu mempertimbangkan, memikirkan dan merenungkan terhadap tingkah laku, baik yang telah dikerjakan (pra Haflah Akhirussanah) maupun yang akan dikerjakan (pascaHaflah Akhirussanah).
Demikian itu adalah semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dalam rangka penghambaan makhluk kepadaNya. Abdul Qosim berkata: “Siapa yang takut kepada sesuatu, maka ia akan lari darinya, tetapi takut kepada Tuhan justru semakin mendekatiNya”. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126).
Keempat, zuhud. Menurut Abu Sulaiman ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang memalingkan diri dari Tuhan. Atau mengosongkan hati dari dorongan ingin bertambah lebih dari kebutuhan terhadap makhluk. Jelasnya zuhud adalah menganggap ringan sesuatu yang ada di dunia dan segala perhiasan serta urusannya. (M. Nawawi al-Jawi, Salalim al-Fudlala’: 20-21).
Zuhud di sini bukan berarti uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian aktifitas dunia, tapi giat mecari rezeki dan menafkahkan – setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi – sebagian hasilnya kepada orang-oraang yang kebutuhan dasarnya masih kekurangan dan ikut berpartisipasi untuk mengentaskan masalah-masalah sosial yang sangat kompleks yang meliputi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, penindasan dan lain-lain. (Afifuddin Muhajir, An-Nadhar, 2005: edisi 58).
Dalam konteks Haflah Akhirussanah, konsep zuhud ini setidaknya memberi pegangan kepada manusia, dimana ketika manusia tersebut hidup pada dunia lain (dari santri menjadi masyarakat biasa, miskin menjadi kaya, biasa menjadi terhormat dan sebaliknya).
Kelima, ukhuwah insaniyah, persaudaraan sesama manusia. Yaitu persaudaraan yang bersifat universal, dengan tidak memandang kepada golongan, daerah, suku, bahasa, maupun agama.
Dengan ukhuwah insaniyah ini, manusia akan bisa merasakan apa yang dialami dan dirasakan oleh sesamanya, sehingga tidak cuma sekedar berkata: “Aku adalah aku” dan “Kamu adalah kamu”.
Dalam moment Haflah Akhirussanah pastilah akan berkumpul berbagai macam corak manusia. Mulai dari daerah yang berbeda, latar belakang berbeda, suku, bahasa maupun agama yang berbeda. Maka, konsep ukhuwah insaniyah telah masuk dalam tataran praksis, dan semua itu tergantung pada diri manusia itu sendiri, mau “merenungkan”, apa tidak?.
Dari makna Haflah Akhirussanah di atas – mungkin cuma sekelumit dari banyak hikmah – manusia bisa menemukan jati dirinya dengan “merenungkan”, “memikirkan”, dan selanjutnya “melaksanakan”.
Makna Haflah akhirussanah
Secara etimologi Haflah Akhirussanah merupakan gabungan dari tiga kata. Pertama,haflah, yang berarti pertemuan, perkumpulan, perayaan, pesta, upacara (A. W. Munawwir, 1997: 280); kedua, akhir, yang berarti akhir (A. W. Munawwir, 1997: 12);ketiga, sanah, yang berarti tahun (A. W. Munawwir, 1997: 670). Jadi Haflah Akhirussanah adalah perayaan atau pesta – dengan mengacu pada arti perayaan atau pesta – akhir tahun.
Secara terminologi Haflah Akhirussanah adalah – melihat pada sejarah dan perkembangan munculnya istilah ini – perayaan atau pesta yang dilaksanakan pada akhir tahun pelajaran – yang dimaksud tahun di sini bukan tahun secara umum, dalam arti tahun masehi atau hijriyah – oleh institusi pendidikan Islam baik formal maupun non formal.
Penggunaan arti perayaan atau pesta di sini, didasarkan pada kebiasaan yang dilakukan oleh institusi pendidikan Islam yang tidak hanya sekedar perkumpulan, melakukan pertemuan atau upacara. Namun juga melaksanakan kegiatan yang bersifat hiburan. Keberadaan kegiatan yang bersifat hiburan ini dimungkinkan, karena kegiatan Haflah Akhirussanah dilaksanakan setelah imtihan (ujian). Jadi hiburan tersebut ditujukan untuk membuat suasana yang santai setelah melaksanakanimtihan.
Hikmah Haflah Akhirussanah
Telah disinggung di depan bahwa Haflah Akhirussanah lebih condong pada arti perayaan atau pesta, namun perayaan atau pesta di sini bukan berarti secara umum, artinya Haflah Akhirussanah mengandung makna (hikmah) yang lebih bersifat moral dan sosial, yaitu; pertama, sikap wara’. Wara’ di sini bukan cuma sekedar keluar dari perkara subhat tetapi lebih ditekankan – seperti kata Yusup ibn Abid – pengoreksian diri dalam setiap keadaan (Risalah al-Qusyairiyah: 109-111).
Jadi, dalam konteks Haflah Akhirussanah koreksi diri sangat diperlukan, artinya apa yang dikerjakan saat ini setimpal atau seimbangkah dengan apa yang dikerjakan dalam satu tahun, baik bersifat transendental maupun sosial.
Kedua, muraqabah. Muraqabah adalah melihat Tuhan dengan mata hati dan menghubungkannya dengan perbuatan yang telah dilakukan, kemudian mengambil hikmah atau jalan yang terbaik bagi dirinya dengan mempertimbangkan dan merasakan adanya pemantauan Tuhan terhadap dirinya (Risalah al-Qusyairiyah:189). Dalam muraqabah ini hampir sama dengan wara’ dalam hal melakukan koreksi, hanya saja untuk muraqabah lebih ditekankan pada sikap transendental seseorang dan menghubungkan dengan koreksi terhadap diri sendiri.
Ketiga, sikap khauf. Khauf adalah takut terhadap kemungkinan adzab Tuhan, di dunia atau akhirat. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126). Hal ini didasarkan pada firman Allah, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Ali Imran[3]: 175). khauf di sini bertujuan agar manusia selalu mempertimbangkan tingkah lakunya. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126).
Maka, dalam moment Haflah Akhirussanah, benar-benar dituntut untuk selalu mempertimbangkan, memikirkan dan merenungkan terhadap tingkah laku, baik yang telah dikerjakan (pra Haflah Akhirussanah) maupun yang akan dikerjakan (pascaHaflah Akhirussanah).
Demikian itu adalah semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dalam rangka penghambaan makhluk kepadaNya. Abdul Qosim berkata: “Siapa yang takut kepada sesuatu, maka ia akan lari darinya, tetapi takut kepada Tuhan justru semakin mendekatiNya”. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126).
Keempat, zuhud. Menurut Abu Sulaiman ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang memalingkan diri dari Tuhan. Atau mengosongkan hati dari dorongan ingin bertambah lebih dari kebutuhan terhadap makhluk. Jelasnya zuhud adalah menganggap ringan sesuatu yang ada di dunia dan segala perhiasan serta urusannya. (M. Nawawi al-Jawi, Salalim al-Fudlala’: 20-21).
Zuhud di sini bukan berarti uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian aktifitas dunia, tapi giat mecari rezeki dan menafkahkan – setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi – sebagian hasilnya kepada orang-oraang yang kebutuhan dasarnya masih kekurangan dan ikut berpartisipasi untuk mengentaskan masalah-masalah sosial yang sangat kompleks yang meliputi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, penindasan dan lain-lain. (Afifuddin Muhajir, An-Nadhar, 2005: edisi 58).
Dalam konteks Haflah Akhirussanah, konsep zuhud ini setidaknya memberi pegangan kepada manusia, dimana ketika manusia tersebut hidup pada dunia lain (dari santri menjadi masyarakat biasa, miskin menjadi kaya, biasa menjadi terhormat dan sebaliknya).
Kelima, ukhuwah insaniyah, persaudaraan sesama manusia. Yaitu persaudaraan yang bersifat universal, dengan tidak memandang kepada golongan, daerah, suku, bahasa, maupun agama.
Dengan ukhuwah insaniyah ini, manusia akan bisa merasakan apa yang dialami dan dirasakan oleh sesamanya, sehingga tidak cuma sekedar berkata: “Aku adalah aku” dan “Kamu adalah kamu”.
Dalam moment Haflah Akhirussanah pastilah akan berkumpul berbagai macam corak manusia. Mulai dari daerah yang berbeda, latar belakang berbeda, suku, bahasa maupun agama yang berbeda. Maka, konsep ukhuwah insaniyah telah masuk dalam tataran praksis, dan semua itu tergantung pada diri manusia itu sendiri, mau “merenungkan”, apa tidak?.
Dari makna Haflah Akhirussanah di atas – mungkin cuma sekelumit dari banyak hikmah – manusia bisa menemukan jati dirinya dengan “merenungkan”, “memikirkan”, dan selanjutnya “melaksanakan”.
Langganan:
Postingan (Atom)