Seorang kakek menjadi Imam jama’ah sholat pada salah Langgar (Surau). Ketika hampir pertengahan sholat ada orang dengan pakaian ala Timur Tengah dan wajah ke-Arab-an.
Dia ikut sholat dan makmum pada kakek tersebut. Al Kisah, selesai sholat dan baca wiridan orang itu mendekati Si Kakek dan bertanya dengan nada yang agak lantang (kayak orasi politik gitu….);
“Pak Tua sholat tadi tidak sah…?!” Dengan agak bingung dan tertatih-tatih Si Kakek menjawab; “ Ngapunten, pripun kok mboten sah ?” “Bacaan Fatihah anda tidak benar (fasih),” jawab orang ke-Arab-an tadi.
Tanpa bicara Si Kakek tadi berjalan keluar Langgar dan menuju rumahnya. Selang tak beberapa lama Si Kakek kembali pada orang tersebut sambil membawa dua telur. “Monggo panjenengan cepeng tigan niki kaliyan maos Fatihah,” ucap Si Kakek sambil memberikan satu telur pada orang tersebut.
Dengan kebingunan dan gak tahu maksudnya orang tersebut memegang telur sambil baca Fatihah; “Bism Allah al rohman al rohim……” Selesai dia baca Fatihah Si Kakek berucap; “Panjenengan thuthuk tigan niku.” Orang tersebut menuruti saja permintaan Si Kakek dan kemudian memukul telur tersebut dengan tangannya, “Thos” langsung pecah telur itu.
Kemudian sambil memegang telur satunya Si Kakek juga membaca Fatihah; “Bism Allah al rohman al rohim……” Ketika orang tadi terbengong melihat tingkah Si Kakek, Si kakek menunjukkan telur tersebut dan mengelupas kulitnya, “wouhhh…” tak disangka ternyata telur itu telah matang. Orang tadi pun terheran-heran melihatnya. Di saat belum hilang kebinggungannya orang tadi, Si Kakek berucap; “Menawi kados ngenten waosan Fatihahe sinten ingkang MANDI.” Tanpa basi-basi orang tadi keluar Langgar; “Assalamu’alaikum…” “Wa’alakum al salam wa rohmat al Allah wa barokatuh” Jawab Si Kakek.
Dari sini aku pun berfikir dan timbul sebuah pertanyaan; ” Siapa sebenarnya yang benar ?” Orang ke-Arab-an yang baca Fatihah dengan baik (fasih) ataukah Si Kakek yang membaca Fatihah dengan berbagai kekurangannya ? Dengan melihat telur yang sudah matang tadi, apakah itu karena keikhlasan pembacanya ? Ataukah telur yang tidak matang tadi karena nafsu (emosi) pembacanya ? Wa Allah a’lam, Tuhan yang Maha Mengetahui.
Menurutku sih, ya… sama-sama benarnya…! Orang ke-Arab-an baca Fatihah dengan fersinya dan kemampuannya sendiri, Si Kakek baca Fatihah dengan fersinya dan kemampuannya sendiri. Yang salah itu adalah seenaknya menyalahkan dan tidak menghargai orang lain. Mungkin disitulah hati kita diuji, bagaimana kemampuan kita menata hati, menjernihkan pikiran, menghilangkan nafsu negatif yang menempel pada diri kita.[]
Senin, 05 Maret 2012
Hukum Sang Kyai
Dalam sebuah pengajian ada salah satu hadirin bertanya pada sang Kyai, “Pak Yai gimana hukumnya baca Sholawat Nabi (Diba’) pakai lagu dangdut atau campursari?”
Dengan tegas dan tanpa basi-basi sang Kyai pun menjawab: ” Hukumnya haram”.
Orang itu bertanya lagi: ”Apa alasannya Yai?”
Sang Kyai menjawab: “Hal semacam itu sama dengan mencampur-adukkan perkara baik dan perkara batil, karena baca sholawat masuk karegori baik dan lagu dangdut atau campursari adalah kategori batil (buruk).”
Dari sini akupun timbul pertanyaan, “kenapa lagu dangdut atau campursari sampai dianggap batil (buruk).”
Padahal itu cuma sekedar lagu, musik, kok sampai segitunya. Mungkinkah karena sang Kyai gak suka lagu dangdut dan campursari, sehingga lagu tersebut dianggap batil. Padahal, tidak sedikit pula para Kyai ketika ceramah di desa-desa diselingi dengan menyanyikan lagu dangdut (ya… kayak artis gitouw).
Seandainya sang Kyai yang ditanya tadi suka lagu dangdut mungkin sang Kyai akan menjawab: “Oooww…. Gak pa-pa, why not !” (maklum Kyai sok Britist).
Ha..ha..ha…..
Hukum jadi subyektif, tergantung siapa yang buat hukum…!
Ya itulah hukum.
Kita marah karena hukum,
kita senang karena hukum,
kita sedih karena hukum,
Jadi hukum-hukuman donk….!!!
Dengan tegas dan tanpa basi-basi sang Kyai pun menjawab: ” Hukumnya haram”.
Orang itu bertanya lagi: ”Apa alasannya Yai?”
Sang Kyai menjawab: “Hal semacam itu sama dengan mencampur-adukkan perkara baik dan perkara batil, karena baca sholawat masuk karegori baik dan lagu dangdut atau campursari adalah kategori batil (buruk).”
Dari sini akupun timbul pertanyaan, “kenapa lagu dangdut atau campursari sampai dianggap batil (buruk).”
Padahal itu cuma sekedar lagu, musik, kok sampai segitunya. Mungkinkah karena sang Kyai gak suka lagu dangdut dan campursari, sehingga lagu tersebut dianggap batil. Padahal, tidak sedikit pula para Kyai ketika ceramah di desa-desa diselingi dengan menyanyikan lagu dangdut (ya… kayak artis gitouw).
Seandainya sang Kyai yang ditanya tadi suka lagu dangdut mungkin sang Kyai akan menjawab: “Oooww…. Gak pa-pa, why not !” (maklum Kyai sok Britist).
Ha..ha..ha…..
Hukum jadi subyektif, tergantung siapa yang buat hukum…!
Ya itulah hukum.
Kita marah karena hukum,
kita senang karena hukum,
kita sedih karena hukum,
Jadi hukum-hukuman donk….!!!
Sabtu, 03 Maret 2012
Membongkar Mitos Kejadian Perempuan
“Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.” [HR. Bukhari, Muslim, Tirmidi dari Abu Hurairah]
Hadits di atas menunjukkan tentang awal mula kejadian perempuan. Namun bagaimana kita memperlakukan perempuan? Apakah perempuan lebih rendah dari laki-laki? Karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.
Berbicara soal perempuan memang tidak akan ada habisnya. ada saja, sisi-sisi perempuan yang menarik untuk dibicarakan. Mulai dari wajahnya, bodynya, jalannya hingga sampai bedak apa yang dia pakai. Maka tak heran jika perempuan menjadi isu utama dalam masyarakat. Sampai-sampai dalam Al-Qur’an terdapat surat al-Nisa’ (perempuan). Ini menunjukkan ada ‘perhatian khusus’ terhadap perempuan.
Kalau kita lihat dari awal mula kejadian perempuan – dengan merujuk pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidi, dan juga pada Kitab Perjanjian Lama (Kejadian: 2: 21-22) – terlihat jelas bahwa perempuan dijadikan oleh Tuhan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Dan dalam hadits ini pula ditambahkan kata “yang bengkok”, berarti tulang rusuk yang bengkok. Dari hadits ini kita tidak bisa memandang secara sekilas, karena akan menimbulkan kesalah pahaman bahwa, perempuan itu lebih rendah dari laki-laki hanya karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Dalam memahami hadits ini, Quraish Shihab menulis: “tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadits tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersifat tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.”
Dari apa yang disampaikan oleh Quraish Shihab di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kaum lelaki tidak boleh berbuat seenaknya saja terhadap perempuan dan memandang rendah terhadap perempuan. Memang, sering kali terjadi bahwa laki-laki tidak sadar bahwa dirinya telah merendahkan derajat perempuan, namun mereka (kaum lelaki) menganggap itu biasa-biasa saja dan malah berdalih dengan dasar dari doktrin keagamaan.
Dalam hal ini kita harus berani untuk “membongkar” doktrin-doktrin keagamaan yang merendahkan derajat perempuan tersebut. Karena kita semua tahu bahwa doktrin-doktrin tersebut telah mengakar-rumput di tengah masyarakat kita. Dan tidak jarang juga, bahwa para perempuan tidak sadar bahwa dirinya direndahkan.
Maka, dari sini kita tidak akan hanya membicarakan perempuan hanya dari segi wajah, body dan tetek bengeknya, namun lebih pada hal-hal yang bersifat esensial yaitu posisi perempuan itu sendiri dan bagaimana kita “memandang” dan “memperlakukan” perempuan.
Source: M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), cet. III.
Kyai
Pesantren merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang terbilang sangat tua. Bahkan secara pasti tidak diketahui kapan awal mula keberadaan pesantren. Sebagian pakar sejarah ada yang mengatakan bahwa pesantren sudah ada pada zaman Wali Songo, sekitar abad 15.
Sebagai lembaga, pesantren mempunyai beberapa elemen yang ada di dalamnya. Setidaknya ada lima elemen; pondok, masjid, kiai, santri, pengajaran kitab kuning.
Salah satu elemen dalam pesantren adalah kyai. Kyai merupakan pemimpin pesantren, dan kadang pula juga pendiri pesantren tersebut. Kyai adalah motor dari sebuah pesantren. Berbagai macam corak pesantren banyak dipengaruhi oleh karakter seorang kyai. Paradigma kyai akan berpengaruh besar terhadap corak pesantren.
Kyai juga biasa disebut dengan ulama’. Karena makna keduanya bisa dikatakan sama, walaupun ada sedikit yang membedakannya. Sebenarnya istilah kyai ini berasal dari bahasa Jawa yang diperuntukkan bagi tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan yang diperuntukkan bagi barang yang dianggap keramat; kedua, gelar kehormatan untuk orang tua pada umumya; ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat pada seorang ahli agama Islam atau pemimpin pesantren.
Pada kenyataannya kyai dalam masyarakat diposisikan sebagai orang tua (yai) yang dianggap mengerti tentang semua hal. Maka tidak heran, bukan masalah keagamaan an sich yang ditanyakan pada kyai, tapi juga masalah dari berbagai segi kehidupan, seperti mau beli tanah, mau menikah, masalah perekonomian, sampai pada masalah politik sekaligus.
Terlepas dari kyai sebagai seorang ahli agama dan pemimpin pesantren, kyai mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Figur kyai –untuk saat ini– diharapkan mampu untuk menjadi penggerak untuk mencapai perubahan sosial menuju arah yang lebih baik. Dari keadaan yang tidak adil menjadi berkeadilan. Hal ini dikarenakan, figur seorang kyai telah melekat di tengah masyarakat Indonesia. Jadi kyai mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap perubahan sosial masyarakat.
Kyai dan pesantren-nya, tidak bisa dipungkiri juga ikut berperan dalam pembangunan. Karena pesantren sendiri adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Kyai dan pesantren tidak hanya diharapkan sebagai penggerak perubahan, namun lebih pada pelopor perubahan itu sendiri (agent of cange). Keberadaannya dalam masyarakat Indonesia diharapkan mampu memberikan alternatif pemikiran dan juga tindakan. Dalam arti kyai dan pesantrennya dituntut untuk menjawab problema-problema yang muncul kian kompleks, dengan kemampuan keagamaannya serta mampu mengendalikan tindakan yang merupakan implementasi dari pemikiran tersebut.
Tapi sangat ironis sekali, ketika kyai dan pesantren dijadikan pelopor perubahan, namun kyai dan pesantren itu sendiri alergi terhadap perubahan. Hal ini ditakutkan bahwa kyai dan pesantren tidak introspeksi diri dalam melihat kekurangan yang harus dibenahi.
Untuk itu kritik adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh kalangan pesantren terlebih kyai. Sehingga kyai dan pesantren akan terbawa pada kesadaran akan realita yang dihadapinya. Sudah saatnya kyai dan pesantren jujur pada dirinya sendiri, untuk sekedar mengungkapkan kekurangan-kekurangan, paradoks-pradoks yang ada dalam tubuh pesantren. Bukankah Imam ‘Ali pernah mengatakan: “kull al-haqqa walau kana murra”, katakanlah perkara yang benar adalah benar walaupun pahit dikatakan.
Dari sini semoga, kyai, pesantren, dan kita semua terbawa terhadap kesadaran akan realita yang ada disekeliling kita. Sehingga peran kiai, pesantren, benar-benar membawa perubahan terhadap gejala sosial yang ada.
Source:
Salah satu elemen dalam pesantren adalah kyai. Kyai merupakan pemimpin pesantren, dan kadang pula juga pendiri pesantren tersebut. Kyai adalah motor dari sebuah pesantren. Berbagai macam corak pesantren banyak dipengaruhi oleh karakter seorang kyai. Paradigma kyai akan berpengaruh besar terhadap corak pesantren.
Kyai juga biasa disebut dengan ulama’. Karena makna keduanya bisa dikatakan sama, walaupun ada sedikit yang membedakannya. Sebenarnya istilah kyai ini berasal dari bahasa Jawa yang diperuntukkan bagi tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan yang diperuntukkan bagi barang yang dianggap keramat; kedua, gelar kehormatan untuk orang tua pada umumya; ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat pada seorang ahli agama Islam atau pemimpin pesantren.
Pada kenyataannya kyai dalam masyarakat diposisikan sebagai orang tua (yai) yang dianggap mengerti tentang semua hal. Maka tidak heran, bukan masalah keagamaan an sich yang ditanyakan pada kyai, tapi juga masalah dari berbagai segi kehidupan, seperti mau beli tanah, mau menikah, masalah perekonomian, sampai pada masalah politik sekaligus.
Terlepas dari kyai sebagai seorang ahli agama dan pemimpin pesantren, kyai mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Figur kyai –untuk saat ini– diharapkan mampu untuk menjadi penggerak untuk mencapai perubahan sosial menuju arah yang lebih baik. Dari keadaan yang tidak adil menjadi berkeadilan. Hal ini dikarenakan, figur seorang kyai telah melekat di tengah masyarakat Indonesia. Jadi kyai mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap perubahan sosial masyarakat.
Kyai dan pesantren-nya, tidak bisa dipungkiri juga ikut berperan dalam pembangunan. Karena pesantren sendiri adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Kyai dan pesantren tidak hanya diharapkan sebagai penggerak perubahan, namun lebih pada pelopor perubahan itu sendiri (agent of cange). Keberadaannya dalam masyarakat Indonesia diharapkan mampu memberikan alternatif pemikiran dan juga tindakan. Dalam arti kyai dan pesantrennya dituntut untuk menjawab problema-problema yang muncul kian kompleks, dengan kemampuan keagamaannya serta mampu mengendalikan tindakan yang merupakan implementasi dari pemikiran tersebut.
Tapi sangat ironis sekali, ketika kyai dan pesantren dijadikan pelopor perubahan, namun kyai dan pesantren itu sendiri alergi terhadap perubahan. Hal ini ditakutkan bahwa kyai dan pesantren tidak introspeksi diri dalam melihat kekurangan yang harus dibenahi.
Untuk itu kritik adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh kalangan pesantren terlebih kyai. Sehingga kyai dan pesantren akan terbawa pada kesadaran akan realita yang dihadapinya. Sudah saatnya kyai dan pesantren jujur pada dirinya sendiri, untuk sekedar mengungkapkan kekurangan-kekurangan, paradoks-pradoks yang ada dalam tubuh pesantren. Bukankah Imam ‘Ali pernah mengatakan: “kull al-haqqa walau kana murra”, katakanlah perkara yang benar adalah benar walaupun pahit dikatakan.
Dari sini semoga, kyai, pesantren, dan kita semua terbawa terhadap kesadaran akan realita yang ada disekeliling kita. Sehingga peran kiai, pesantren, benar-benar membawa perubahan terhadap gejala sosial yang ada.
Source:
- Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,(Jakarta: LP3ES, 1994), cet. vi
- Amin Haedari, et. al., Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), cet. xiv
Refleksi Haflah Akhirussanah
Istilah “Haflah akhirussanah” tentunya tak asing lagi bagi umat Islam Indonesia, lebih-lebih kalangan pesantren. Istilah yang diadopsi dari bahasa Arab ini, nampaknya tidak hanya populer dimasyarakat, namun sudah sampai mengakar rumput seperti halnya bahasa sendiri. Lepas dari kepopulerannya, sebenarnya apa makna dan hikmah dariHaflah akhirussanah itu sendiri?.
Makna Haflah akhirussanah
Secara etimologi Haflah Akhirussanah merupakan gabungan dari tiga kata. Pertama,haflah, yang berarti pertemuan, perkumpulan, perayaan, pesta, upacara (A. W. Munawwir, 1997: 280); kedua, akhir, yang berarti akhir (A. W. Munawwir, 1997: 12);ketiga, sanah, yang berarti tahun (A. W. Munawwir, 1997: 670). Jadi Haflah Akhirussanah adalah perayaan atau pesta – dengan mengacu pada arti perayaan atau pesta – akhir tahun.
Secara terminologi Haflah Akhirussanah adalah – melihat pada sejarah dan perkembangan munculnya istilah ini – perayaan atau pesta yang dilaksanakan pada akhir tahun pelajaran – yang dimaksud tahun di sini bukan tahun secara umum, dalam arti tahun masehi atau hijriyah – oleh institusi pendidikan Islam baik formal maupun non formal.
Penggunaan arti perayaan atau pesta di sini, didasarkan pada kebiasaan yang dilakukan oleh institusi pendidikan Islam yang tidak hanya sekedar perkumpulan, melakukan pertemuan atau upacara. Namun juga melaksanakan kegiatan yang bersifat hiburan. Keberadaan kegiatan yang bersifat hiburan ini dimungkinkan, karena kegiatan Haflah Akhirussanah dilaksanakan setelah imtihan (ujian). Jadi hiburan tersebut ditujukan untuk membuat suasana yang santai setelah melaksanakanimtihan.
Hikmah Haflah Akhirussanah
Telah disinggung di depan bahwa Haflah Akhirussanah lebih condong pada arti perayaan atau pesta, namun perayaan atau pesta di sini bukan berarti secara umum, artinya Haflah Akhirussanah mengandung makna (hikmah) yang lebih bersifat moral dan sosial, yaitu; pertama, sikap wara’. Wara’ di sini bukan cuma sekedar keluar dari perkara subhat tetapi lebih ditekankan – seperti kata Yusup ibn Abid – pengoreksian diri dalam setiap keadaan (Risalah al-Qusyairiyah: 109-111).
Jadi, dalam konteks Haflah Akhirussanah koreksi diri sangat diperlukan, artinya apa yang dikerjakan saat ini setimpal atau seimbangkah dengan apa yang dikerjakan dalam satu tahun, baik bersifat transendental maupun sosial.
Kedua, muraqabah. Muraqabah adalah melihat Tuhan dengan mata hati dan menghubungkannya dengan perbuatan yang telah dilakukan, kemudian mengambil hikmah atau jalan yang terbaik bagi dirinya dengan mempertimbangkan dan merasakan adanya pemantauan Tuhan terhadap dirinya (Risalah al-Qusyairiyah:189). Dalam muraqabah ini hampir sama dengan wara’ dalam hal melakukan koreksi, hanya saja untuk muraqabah lebih ditekankan pada sikap transendental seseorang dan menghubungkan dengan koreksi terhadap diri sendiri.
Ketiga, sikap khauf. Khauf adalah takut terhadap kemungkinan adzab Tuhan, di dunia atau akhirat. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126). Hal ini didasarkan pada firman Allah, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Ali Imran[3]: 175). khauf di sini bertujuan agar manusia selalu mempertimbangkan tingkah lakunya. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126).
Maka, dalam moment Haflah Akhirussanah, benar-benar dituntut untuk selalu mempertimbangkan, memikirkan dan merenungkan terhadap tingkah laku, baik yang telah dikerjakan (pra Haflah Akhirussanah) maupun yang akan dikerjakan (pascaHaflah Akhirussanah).
Demikian itu adalah semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dalam rangka penghambaan makhluk kepadaNya. Abdul Qosim berkata: “Siapa yang takut kepada sesuatu, maka ia akan lari darinya, tetapi takut kepada Tuhan justru semakin mendekatiNya”. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126).
Keempat, zuhud. Menurut Abu Sulaiman ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang memalingkan diri dari Tuhan. Atau mengosongkan hati dari dorongan ingin bertambah lebih dari kebutuhan terhadap makhluk. Jelasnya zuhud adalah menganggap ringan sesuatu yang ada di dunia dan segala perhiasan serta urusannya. (M. Nawawi al-Jawi, Salalim al-Fudlala’: 20-21).
Zuhud di sini bukan berarti uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian aktifitas dunia, tapi giat mecari rezeki dan menafkahkan – setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi – sebagian hasilnya kepada orang-oraang yang kebutuhan dasarnya masih kekurangan dan ikut berpartisipasi untuk mengentaskan masalah-masalah sosial yang sangat kompleks yang meliputi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, penindasan dan lain-lain. (Afifuddin Muhajir, An-Nadhar, 2005: edisi 58).
Dalam konteks Haflah Akhirussanah, konsep zuhud ini setidaknya memberi pegangan kepada manusia, dimana ketika manusia tersebut hidup pada dunia lain (dari santri menjadi masyarakat biasa, miskin menjadi kaya, biasa menjadi terhormat dan sebaliknya).
Kelima, ukhuwah insaniyah, persaudaraan sesama manusia. Yaitu persaudaraan yang bersifat universal, dengan tidak memandang kepada golongan, daerah, suku, bahasa, maupun agama.
Dengan ukhuwah insaniyah ini, manusia akan bisa merasakan apa yang dialami dan dirasakan oleh sesamanya, sehingga tidak cuma sekedar berkata: “Aku adalah aku” dan “Kamu adalah kamu”.
Dalam moment Haflah Akhirussanah pastilah akan berkumpul berbagai macam corak manusia. Mulai dari daerah yang berbeda, latar belakang berbeda, suku, bahasa maupun agama yang berbeda. Maka, konsep ukhuwah insaniyah telah masuk dalam tataran praksis, dan semua itu tergantung pada diri manusia itu sendiri, mau “merenungkan”, apa tidak?.
Dari makna Haflah Akhirussanah di atas – mungkin cuma sekelumit dari banyak hikmah – manusia bisa menemukan jati dirinya dengan “merenungkan”, “memikirkan”, dan selanjutnya “melaksanakan”.
Makna Haflah akhirussanah
Secara etimologi Haflah Akhirussanah merupakan gabungan dari tiga kata. Pertama,haflah, yang berarti pertemuan, perkumpulan, perayaan, pesta, upacara (A. W. Munawwir, 1997: 280); kedua, akhir, yang berarti akhir (A. W. Munawwir, 1997: 12);ketiga, sanah, yang berarti tahun (A. W. Munawwir, 1997: 670). Jadi Haflah Akhirussanah adalah perayaan atau pesta – dengan mengacu pada arti perayaan atau pesta – akhir tahun.
Secara terminologi Haflah Akhirussanah adalah – melihat pada sejarah dan perkembangan munculnya istilah ini – perayaan atau pesta yang dilaksanakan pada akhir tahun pelajaran – yang dimaksud tahun di sini bukan tahun secara umum, dalam arti tahun masehi atau hijriyah – oleh institusi pendidikan Islam baik formal maupun non formal.
Penggunaan arti perayaan atau pesta di sini, didasarkan pada kebiasaan yang dilakukan oleh institusi pendidikan Islam yang tidak hanya sekedar perkumpulan, melakukan pertemuan atau upacara. Namun juga melaksanakan kegiatan yang bersifat hiburan. Keberadaan kegiatan yang bersifat hiburan ini dimungkinkan, karena kegiatan Haflah Akhirussanah dilaksanakan setelah imtihan (ujian). Jadi hiburan tersebut ditujukan untuk membuat suasana yang santai setelah melaksanakanimtihan.
Hikmah Haflah Akhirussanah
Telah disinggung di depan bahwa Haflah Akhirussanah lebih condong pada arti perayaan atau pesta, namun perayaan atau pesta di sini bukan berarti secara umum, artinya Haflah Akhirussanah mengandung makna (hikmah) yang lebih bersifat moral dan sosial, yaitu; pertama, sikap wara’. Wara’ di sini bukan cuma sekedar keluar dari perkara subhat tetapi lebih ditekankan – seperti kata Yusup ibn Abid – pengoreksian diri dalam setiap keadaan (Risalah al-Qusyairiyah: 109-111).
Jadi, dalam konteks Haflah Akhirussanah koreksi diri sangat diperlukan, artinya apa yang dikerjakan saat ini setimpal atau seimbangkah dengan apa yang dikerjakan dalam satu tahun, baik bersifat transendental maupun sosial.
Kedua, muraqabah. Muraqabah adalah melihat Tuhan dengan mata hati dan menghubungkannya dengan perbuatan yang telah dilakukan, kemudian mengambil hikmah atau jalan yang terbaik bagi dirinya dengan mempertimbangkan dan merasakan adanya pemantauan Tuhan terhadap dirinya (Risalah al-Qusyairiyah:189). Dalam muraqabah ini hampir sama dengan wara’ dalam hal melakukan koreksi, hanya saja untuk muraqabah lebih ditekankan pada sikap transendental seseorang dan menghubungkan dengan koreksi terhadap diri sendiri.
Ketiga, sikap khauf. Khauf adalah takut terhadap kemungkinan adzab Tuhan, di dunia atau akhirat. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126). Hal ini didasarkan pada firman Allah, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Ali Imran[3]: 175). khauf di sini bertujuan agar manusia selalu mempertimbangkan tingkah lakunya. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126).
Maka, dalam moment Haflah Akhirussanah, benar-benar dituntut untuk selalu mempertimbangkan, memikirkan dan merenungkan terhadap tingkah laku, baik yang telah dikerjakan (pra Haflah Akhirussanah) maupun yang akan dikerjakan (pascaHaflah Akhirussanah).
Demikian itu adalah semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dalam rangka penghambaan makhluk kepadaNya. Abdul Qosim berkata: “Siapa yang takut kepada sesuatu, maka ia akan lari darinya, tetapi takut kepada Tuhan justru semakin mendekatiNya”. (Risalah al-Qusyairiyah: 125-126).
Keempat, zuhud. Menurut Abu Sulaiman ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang memalingkan diri dari Tuhan. Atau mengosongkan hati dari dorongan ingin bertambah lebih dari kebutuhan terhadap makhluk. Jelasnya zuhud adalah menganggap ringan sesuatu yang ada di dunia dan segala perhiasan serta urusannya. (M. Nawawi al-Jawi, Salalim al-Fudlala’: 20-21).
Zuhud di sini bukan berarti uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian aktifitas dunia, tapi giat mecari rezeki dan menafkahkan – setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi – sebagian hasilnya kepada orang-oraang yang kebutuhan dasarnya masih kekurangan dan ikut berpartisipasi untuk mengentaskan masalah-masalah sosial yang sangat kompleks yang meliputi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, penindasan dan lain-lain. (Afifuddin Muhajir, An-Nadhar, 2005: edisi 58).
Dalam konteks Haflah Akhirussanah, konsep zuhud ini setidaknya memberi pegangan kepada manusia, dimana ketika manusia tersebut hidup pada dunia lain (dari santri menjadi masyarakat biasa, miskin menjadi kaya, biasa menjadi terhormat dan sebaliknya).
Kelima, ukhuwah insaniyah, persaudaraan sesama manusia. Yaitu persaudaraan yang bersifat universal, dengan tidak memandang kepada golongan, daerah, suku, bahasa, maupun agama.
Dengan ukhuwah insaniyah ini, manusia akan bisa merasakan apa yang dialami dan dirasakan oleh sesamanya, sehingga tidak cuma sekedar berkata: “Aku adalah aku” dan “Kamu adalah kamu”.
Dalam moment Haflah Akhirussanah pastilah akan berkumpul berbagai macam corak manusia. Mulai dari daerah yang berbeda, latar belakang berbeda, suku, bahasa maupun agama yang berbeda. Maka, konsep ukhuwah insaniyah telah masuk dalam tataran praksis, dan semua itu tergantung pada diri manusia itu sendiri, mau “merenungkan”, apa tidak?.
Dari makna Haflah Akhirussanah di atas – mungkin cuma sekelumit dari banyak hikmah – manusia bisa menemukan jati dirinya dengan “merenungkan”, “memikirkan”, dan selanjutnya “melaksanakan”.
Langganan:
Postingan (Atom)