Halaman

Minggu, 20 Mei 2012

Poligami; Dicerca & Disuka.

Beragam pendapat tentang poligami, ada yang membolehkan ada yang mengharamkan. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Semua kembali pada hati nurani si pelaku. Bagi saya poligami bukan sekedar soal boleh atau tidak, namun lebih dari itu adalah soal akibat dari poligami itu sendiri.

Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan sendiri bagaimana masalah yang dihadapi ketika seseorang melakukan poligami. Boleh dikatakan ini merupakan sebuah poligami yang tidak terstruktur, dalam arti melakukan poligami tanpa melalui restu istri pertama.

Kejadian itu bermula ketika sebuah keluarga yang hidup rukun kurang lebih enam belas tahun dan telah dikaruniai dua orang anak harus sering bertengkar dan cekcok, padahal itu hanya karena beberapa masalah sepele. Saya melihat sang istri merupakan wanita yang dibilang ketus dan maunya menang sendiri serta kurang menghiraukan kemauan sang suami. Sang suami pun tergolong orang yang cuek walau dia itu sering diomeli oleh istrinya. Paling-paling dia hanya diam dan kemudian pergi.

Apa karena alasan itu atau karena alasan lain entah saya tidak tahu, sang suami pun diam-diam menikah lagi tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Rahasia itu pun terbongkar sampai kurang lebih dua bulan dan tahu sendirilah apa yang terjadi. Istri tua melabrak kepada istri muda dan pertengkaran pun terjadi.

Saat itulah sang suami kebingungan, dimana istri tua marah-marah dan berkata, "memilih aku atau dia." Dapat dimengerti karena istri tua ini yang tidak setuju dan tidak mau dimadu, lain halnya dengan istri muda.

Bukannya laki-laki kalau kehabisan akal, seperti pepatah mengatakan, "orang kalau sedang terjepit itu pasti punya banyak akal." Mungkin inilah yang diterapkan sang suami dan dia pun bilang kepada kedua istrinya, "aku punya dua pilihan, memilih kalian berdua atau tidak sama sekali." Kedua istrinya pun kebingungan, maklum mereka berdua masih mencintai si suami. Akhirnya masalah rumah tangga mereka pun masih terkatung-katung. Belum jelas memilih satu istri atau dua istri.

Dari kejadian ini saya pun menyimpulkan bahwa mereka lebih mengedepankan egonya masing-masing. Padahal masing-masing dari mereka sama-sama memiliki anak. Inipun diperparah dengan pengetahuan si laki-laki tentang poligami. Karena menurut dia dan kebanyakan laki-laki, asal telah menikah menurut agama itu dibilang sudah sah padahal tidak seperti itu. Dalam hukum agamapun seseorang yang melakukan poligami itu harus melalui ijin/restu dari istri pertama dan itu adalah wajib hukumnya.

Terlepas dari masalah hukum agama, bagi saya poligami itu lebih pada masalah akibat, baik itu maslahah atau mudlorot. Namun dari beberapa pengalaman yang ada, poligami itu sepertinya lebih dekat kepada kemudlorotan. Apalagi jika di situ telah memiliki anak. Yang jelas anak itu tidak tahu apa-apa. Mereka masih punya masa depan. Jangan sampai masa depan mereka tak jelas bahkan hancur hanya karena keegoan orang tuanya.

Kenapa lebih dekat kepada kemudlorotan? Ya! Cobalah untuk meraba sendiri, karena saya tidak mau mengutarakannya disini. Lihatlah para pelaku poligami dan kau akan temukan kejanggalan-kejanggalan, akibat-akibat, yang kebanyakan ditutup-tutupi.[]

Jumat, 18 Mei 2012

Sekilas Tentang; Sejarah Berdirinya PP. Shirothul Fuqoha'

Pada zaman kolonial, Desa Sepanjang Gonganglegi Kabupaten Malang merupakan desa yang terbilang subur dan termasuk desa yang luas. Hal ini dilihat dari hasil bumi masyarakat pada waktu itu, yang mayoritas berupa padi, melimpah ruah. Namun dalam kehidupan beragama masyarakat terbilang masih awam. Meskipun diakui bahwa sersatus persen masyarakat beragama Islam, tapi dalam pengamalan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari masih sangat kurang atau dapat dikatakan bahwa masyarakat sepanjang waktu itu tergolong masyarakat Abangan.

Melihat kenyataan seperti itu tergugahlah hati beberapa tokoh agama untuk mengadakan pengajian-pengajian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai ajaran Islam benar-benar terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Pada mulanya kegiatan pengajian belum memiliki tempat khusus. Tempatnya selalu berpindah pindah dari rumah warga satu ke rumah warga lainnya.

Keadaan ini berlangsung beberapa tahun. Sampai akhirnya pada tahun 1938 ada seseorang yang mewaqofkan sebidang tanah seluas 1184 m2 untuk didirikan sebuah bangunan peribadatan bagi umat Islam Desa Sepanjang. Dan pada tahun itu juga didirikanlah sebuah masjid untuk sarana peribadatan umat Islam sekaligus difungsikan untuk berdakwah dan belajar agama Islam (mengaji).

Pada tahun selanjutnya, tepatnya pada tahun 1939 didirikanlah sebuah bangunan (asrama) diselatan masjid dengan bentuk sederhana. Selain dikarenakan masih tersisanya tanah waqof setelah didirikan masjid, pendirian asrama ini juga dimaksudkan sebagai tempat khusus untuk mengaji. Dari sinilah awal mula pondok pesantren Shirotul Fuqoha’ berdiri.

Pengajian-pengajian yang dilaksanakn di asrama ini, dari tahun ke tahun terus berkembang. Namun dengan perkembangan pengajian ini, terdapat suatu kekurangan yang dianggap sangat penting, yaitu tidak adanya seorang ulama’ atau kyai yang mumpuni untuk mengemban amanat dan tanggung jawab sekaligus mengasuh secara khusus terhadap santri-santri yang belajar agam Islam di asrama tersebut. Hal ini karena pada awalnya kegiatan-kegiatan pengajian selalu mendatangkan pengajar dari luar daerah, selain beberapa tokoh agama Desa Sepanjang yang masih terbatas.

Baru pada tahun 1952 ada seorang ulama’ yang berasal dari Jombang bernama KH. Damiri yang tinggal di Desa Sepanjang, tepatnya didekat Masjid tersebut. Kemudian KH. Damiri mendapat amanat untuk mengelola masjid beserta pengajian-pengajian di asrama dekat masjid tersebut yang selanjutnya menjadi pengasuhnya.

Pada tahun 1958 diadakan renovasi dan dibangun sebuah pondok dengan sepuluh ruangan (sekarang asrama A). Sembilan ruangan difungsikan sebagai kamar bagi para santri dan yang satu ruangan sebagi kantor. Dengan adanya renovasi dan bangunan baru ini, pesantren tersebut berkembang dengan pesat, sampai pada tahun 1974 sarana untuk pengajian (ruang kelas) menjadi kurang, karena tempat belajar mengajar hanya ada dua ruangan, itupun ruangan yang ada di depan kamar para santri, sehingga kegiatan belajar mengajar ditempatkan di serambi masjid. Akhirnya pada tahun 1977, pesantren yang belum mempunyai nama tersebut diberi nama pondok Pesantren Salafiyah Shirotul Fuqoha’.

Seiring dengan perkembangan pesantren Shirotul Fuqoha’, maka pada tahun 1981 ditambah lagi sarana pondok yang berupa asrama dengan tujuh ruangan (sekarang asrama B), enam ruangan digunakan untuk kamar santri dan satu ruangan dugunakan untuk tempat belajar mengajar (kelas). Jadi, keseuruhan sarana yang ada menjadi tujuh belas ruangan yang terdiri dari, satu ruang kelas, satu kantor dan lima belas kamar.

Pada tahun 1984 tepatnya pada tanggal 8 Januari, KH. Damiri wafat. Dan untuk melanjutkan kepemimpinan pesantren tersebut, keponakan KH. Damiri yang bernama Muhammad Dahlan Ghoni yang sebelumnya juga ikut mengajar di pesantren tersebut, diberi amanat untuk mengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Shirothul Fuqoha’.

Dengan bertambah santri setiap tahunnya, terutama dari santri putrid, maka pada tahun 1988 dibeli sebidang tanah untuk didirikan asrama bagi santri putrid dengan empat kamar. Selanjutnya pada tahun 1989 ditambah lagi asrama dengan tujuh kamar. Pada tahun1990 dilanjutkan dengan pembangunan aula bagi santri putri, satu kantor dan satu kamar untuk para guru (asatidzah). Dengan bertambahnya santri, terutama santri putra, maka pada tahun 1992 dibangun asrama dengan dua lantai yang berisikan dua puluh dua kamar dan pembangunannya selesai dan ditempati pada tahun 1994.

Setelah pembangunan asrama tersebut selesai, maka dilanjutkan pada pembangunan aula santri putra yang sekaligus difungsikan sebagai ruang kelas untuk belajar mengajar dengan disekat menjadi tiga ruangan. Selanjutnya pada tahun 1995 setelah pembangunan aula santri putra, dibangun satu ruang tamu dan selesai pada tahun 1997. Pada tahun 2000 diadakan renovasi musholla santri putri dan dikembangkan menjadi dua lantai. Lantai atas digunakan sebagai ruang kelas dan yang bawah untuk musholla santri putri yang juga difungsikan sebagai ruang kelas.

Selanjutnya setalah pembangunan musholla santri putri, diadakan renovasi pada rumah (ndalem) sang Kyai dengan dua lantai dimana bagian atasnya digunakan sebagai ruang kelas bagi santri putra.

Seiring dengan banyaknya jumlah jama’ah di masjid, terutama pada waktu sholat jum’at, tarawih dan sholat hari raya, maka pada tahun 2002 diadakan renovasi masjid dengan memperluas ke arah barat dengan membongkar ruangan kamar santri yang ada di dekatnya. Pada tahun 2004 juga diadakan renovasi terhadap serambi bagian depan masjid sekaligus merubah bangunan yang paling tua yaitu kantor dan tiga kamar menjadi kantor baru dengan agak luas dari kantor sebelumnya.

Source:
  1. Zainal, Dokumen Penelitian Pelaksanaan Dakwah Islamiyah di Pondok Pesantren Salafiyah Shirothul Fuqoha,.
  2. Wawancara dengan beberapa tokoh, sesepuh pesantren dan masyarakat sekitar pesantren.

Tradisi Kurban Di Kampungku

Setahu saya, berkurban itu dengan hewan semisal sapi, kambing, dan lain-lain yang sehat dan tentunya telah memenuhi kriteria dalam berkurban sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab fikih. Sekali lagi cuma hewan dan tak ada yang lain. Niat dan tujuan kurban tentunya sudah menjadi hal yang tak terpisahkan dari kurban itu sendiri.

Namun, lain halnya dengan tradisi yang ada dikampungku. Dimana seseorang yang berkurban tidak hanya hewan kurban yang dibawa, tapi juga sesuatu yang menjadi kebutuhan untuk memasak (pada waktu penyembelihan hewan), seperti: kayu bakar, beras, bumbu-bumbuan, kain kafan, daun pisang, daun sirih dan lain-lain.

Sebenarnya, mereka yang berkurban juga tahu bahwa sesuatu tersebut bukan menjadi sebuah kewajiban yang berkaitan dengan kurban. Tapi kenyatannya mereka tetap saja membawa sesuatu selain hewan kurban tersebut.

Mengapa demikian? Apakah karena sudah menjadi sebuah tradisi? Ataukah memang ada keyakinan oleh sebagian orang tentang tradisi tersebut? Terutama bagi mereka yang lebih kental dengan tradisi Jawa.

Tradisi kurban di kampungku memang tidak semuanya dikelola oleh sebuah panitia kurban atau ta’mir masjid. Sebagian ada kurban yang diamanatkan atau dipercayakan kepada kyai kampung atau guru ngaji. Karena selama ini figur kyai atau guru ngaji masih tetap menjadi sentral untuk urusan ibadah sehingga masyarakatpun lebih percaya pada kyai atau guru ngaji daripada sebuah panitia kurban.

Ketika kurban ini dilaksanakan di salah satu kyai kampung, maka akan membutuhkan beberapa pembantu dalam pelaksanaannya. Di sinilah seakan-akan kyai tadi menjadi panitia kurban ‘dadakan’ yang harus memanage beberapa orang untuk membantunya melaksanakan kurban. Seperti mendata orang-orang yang akan diberi daging kurban, mengatur petugas pembagi dan lain-lain. Dalam hal ini, operasional seluruh kegiatan kurban juga ditanggung semua oleh kyai tadi.

Dari latar belakang itu, maka ada sebagian orang ketika berkurban tidak hanya membawa hewan kurban tapi juga sesuatu yang dibutuhkan dalam operasional kurban tersebut, walau cuma dengan sekedar beras, bumbu-bumbuan, kayu bakar dan lain-lain. Selanjutnya, hal ini juga dilakukan terus-menerus oleh orang-orang yang berkurban, sehingga bisa dikatakan, menjadi sebuah tradisi dalam berkurban.

Dari sisi lain, saya juga melihat ada beberapa keyakinan dari sebagian orang yang lebih kental dengan tradisi Jawa, bahwa sesuatu tersebut menjadi sebuah pelengkap dalam melaksanakan kurban. Ini saya lihat dari beberapa barang bawaan seperti, kain kafan, daun sirih, daun pisang, beberapa bunga (seperti ketika ditaburkan di atas makam), uang (dalam tradisi Jawa disebut Sari), pisang dan lain-lain.

Saya menduga bahwa apa yang diyakini oleh mereka adalah terkait dengan seseorang yang menjadi tujuan kurban. Dalam arti, pahala dari kurban tersebut ditujukan pada seseorang yang telah meninggal dunia. Sehingga mereka menyimbolkan dengan membawa kain kafan, daun sirih, beberapa bunga, uang (sari).

Lepas dari itu semua, baik tradisi maupun keyakinan tadi, apresiasi patut diberikan kepada mereka. Walaupun secara ekonomi mereka bukan tergolong orang yang kaya, mereka masih menyisihkan hewan ternaknya untuk dibuat kurban. Mereka juga termasuk orang yang berbakti dan menghargai pada leluhur mereka dengan jalan memberikan pahala kurban tersebut.

Selain itu kurban juga membantu kepada saudara-saudara kita yang miskin. Mereka bisa menjual daging hasil dari pembagian kurban untuk kebutuhan sehari-hari. Seandainya tidak dijualpun, setidaknya mereka bisa merasakan daging yang selama ini jarang mereka nikmati.

Terakhir, semoga kita bisa mengambil pesan moral dari kurban ini. Bukan hanya sekedar sebagai ibadah mahdhoh (transendental) tapi juga menjadi ibadah ghoiru mahdhoh (horizontal, kesalehan sosial).[]

Pesan Moral Haji

Ada-ada saja orang sekarang. Juragan ayam naik haji, disebut “haji ayam.” Itu yang terjadi pada tetangga saya ketika naik haji. Lain halnya dengan teman saya. Hanya karena punya 'panenan' tomat yang kebetulan harganya oke, lalu naik haji, diapun disebut “haji tomat.” Itulah kehidupan, yang penuh dengan warna-warni pandangan.

Penyebutan semacam tadi, bukan berarti tanpa alasan. Mereka menyebut semacam itu berangkat dari sebuah pengalaman dan kenyataan. Walaupun hal seperti itu kadang bisa benar, kadang juga bisa salah. Itulah manusia kadang benar, kadang salah. Dan yang pasti manusia itu tak luput dari kesalahan. Bukankah Nabi pernah mengatakan, “al-insan mahall al-khatha’ wa al-nisyan”, manusia itu tempatnya salah dan lupa.

Haji memang memunculkan banyak pandangan, banyak banyolan. Sampai-sampai banyak juga dana haji yang hilang (karena dikorupsi). Tapi yang pasti dalam haji harus banyak uang. Apakah haji memang seperti itu? Ataukah haji sekedar ritual thawaf, wuquf, sa’i dan seterusnya?

Selain mengandung pesan transendental [(ibadah mahdhah) karena termasuk dari rukun Islam], haji juga mengandung pesan sosial (ibadah ghair al-mahdhah), dimana dalam pesan sosial tersebut terdapat unsur persamaan nilai kemanusiaan dan pengamalan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Persamaan nilai kemanusiaan ini dapat dilihat dari isi khuthbah Nabi pada haji wada’ (haji perpisahan) yang intinya menekankan: (1) persamaan; (2) kaharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain; (3) larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik dibidang ekonomi mupun dibidang-bidang lain.

Pengamalan nilai-nilai kemanusiaan universal -sebagaimana dikatakan Dr. KH. M. Quraish Shihab– dapat diamati dari ritual ibadah haji. Pertama, Haji dimulai dengan pakaian ihram. Ini menunjukkan tidak ada perbedaan diantara makhluk Tuhan. Karena pakaian adalah salah satu pembeda terhadap status sosial, ekonomi atau profesi seseorang.

Kedua, Dengan pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku haji. Di sini menunjukkan adanya sikap disiplin, dimana pelaku haji telah masuk pada sebuah sistem.

Ketiga, Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Dari sini kita dapat merefleksikan pengalaman Nabi Isma’il, Nabi Ibrahim, serta istrinya, Hajar.

Keempat, Dalam thawaf pelaku haji berbaur dengan manusia lain. Ini menunjukkan kebersamaan untuk meraih satu tujuan yang sama, yakni berada dalam lingkungan Tuhan.

Kelima, Di Arafah mereka seharusnya menemukan ma’rifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, dan di sana ia menyadari langkah-langkahnya selama ini. Karena di Arafah mereka akan wuquf (berhenti) sampai terbenamnya matahari.

Keenam, Dari Arafah, jamaah haji pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata dalam menghadapi musuh utama yaitu Setan. Kemudian jamaah haji melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka kepada Setan, dengan melemparinya batu kerikil.

Demikianlah haji, yang terkumpul dalam simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan universal. Bukan Cuma sekedar sebutan “haji ayam” atau “haji jahe” dan bukan pula gelar “H” di depan namanya ataupun sebutan “abah” untuk memanggilnya.[]