Halaman

Selasa, 31 Juli 2012

Ramadhan di PP. Sepanjang Malang

Ramadhan itu memang identik dengan sesuatu yang berbau religi. Mulai dari cara berpakaian, tradisi, hingga seperti lagu atau sinetron pun turut meramaikannya. Namun tak apalah dari pada tidak sama sekali. Toh, semua itu yang menilai adalah Tuhan. Manusia cuma sekedar berasumsi tanpa bisa memberi nilai.

Selain itu, Ramadhan juga menjadi sebuah berkah tersendiri bagi pesantren dimana orang yang selama ini tidak pernah mengenal pesantren, jadi ingin tahu tentang pesantren, ingin mengenal pesantren, ingin tinggal di pesantren. Mungkin ini pula yang menjadi salah satu alasan, kenapa pada bulan Ramadhan muncul sebuah kegiatan yang dinamakan Pesantren Kilat, Pondok Ramadhan dan lain sebagainya.

Kemarin (28 Juli 2012) aku menyempatkan diri untuk bermain ke PP. Sepanjang. Selain PP. Sepanjang itu adalah almamaterku, mungkin ini menjadi obat rasa kangen pada canda gurau teman-teman santri yang selama ini  jarang aku temui. Untuk sekedar ngobrol, bercanda dan ngopi itu sudah terasa asyik sekali. Maklum, sudah kurang lebih lima tahun aku keluar dari pesantren ini. Lumayan juga buat mengisi hari-hari yang selama ini penuh dengan kepenatan.

Kebetulan waktu itu juga ada teman-teman dari Universitas Negeri Malang (UM) yang melakukan kegiatan Pondok Ramadhan di PP. Sepanjang. Banyak juga sih, kira-kira tiga ratusan mahasiswa, laki-laki dan perempuan. Ramai banget! Maklum pada bulan Ramadhan kebanyakan santri pada pulang karena masih dalam masa liburan pesantren. Walaupun bulan Ramadhan ada kegiatan mengaji yang biasanya di sebut "ngaji pasanan", itu tidak diwajibkan bagi para santri. Ngaji pasanan ini adalah kegiatan rutin setiap bulan Ramadhan dan biasanya diperuntukkan bagi para santri yang menghendaki kegiatan mengaji di bulan Ramadhan.

Istiqomah; Tak lupa menyapa teman di twitter dan facebook.
Awas! Jangan lihat orangnya, lihat aja tulisan di lepi mungkin berguna, hehehe
Akhirnya, malam itu aku diajak teman-teman santri untuk ikut 'nimbrung' diskusi bersama teman-teman dari UM. Seperti biasanya diskusi, waktu itu mengangkat tema tentang "demonstrasi". Bagaimana pandangan Islam tentang demontrasi? Wah! kayak bahtsul masa'il aja! Ya.. sedikit mengarah ke situ sih, cuma ini lebih simple dimana teman-teman santri sekedar menyampaikan pandangan tentang demontrasi itu sediri dan itupun tidak lepas dari hasil bahtsul masa'il yang pernah dilakukan.

Wuiiih! Itu Kang Arifin (baju biru) malah bergaya, mungkin tahu kalau sedang di sodrek kali ya, hahaha
Jiaaaahhh..!! Kayak narasumber berkelas aja. Duduk didepan para mahasiswa/mahasiswi yang katanya adalah kaum terpelajar, pemuda-pemudi penerus generasi bangsa.

Tapi gak apalah! Toh kita semua ini sebenarnya adalah pemuda-pemudi penerus generasi bangsa. :)

Duh! Ini siapa sih yang bikin, kok pake "Peace and Love" segala, kayak mau presentasi film aja..
Diskusi itupun berlangsung ramai dan hidup. Ini dilihat dari antusias teman-teman mahasiswa yang bertanya atau sekedar menanggapi pandangan-pandangan yang telah kita sampaikan.

Memang! Pandangan-pandangan kita tentang demontrasi itu lebih mengarah pada pandangan fikih yang bermuara dari sebuah proses bahtsul masa'il dimana didalamnya mengambil rujukan-rujukan dari kitab kuning. Sedangkan dari teman-teman mahasiswa sendiri sedikit sekali yang mengetahui tentang pengambilan sebuah hukum dari proses bahtsul masa'il.

Dalam hal ini kami berpandangan sesuai dengan apa yang kami hasilkan dari bahtsul masa'il tersebut.

Dalam pandangan fikih demontrasi memiliki batasan tertentu. Demontrasi diperbolehkan dengan catatan: 
  1. Bertujuan memberitahukan kepada pemerintah bahwa keputusan atau tindakan yang dilakukan itu salah;
  2. Demontrasi tersebut harus bersifat mendidik/menasehati pemerintah. Adapun melarang keras tindakan pemerintah ini tidak boleh karena fikih memandang hal tersebut akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar;
  3. Ketika keputusan pemerintah yang dianggap salah oleh masyarakat ini dianggap tidak bertentangan dengan ketentuan syari’ah maka masyarakat tetap harus patuh pada pemerintah dalam arti tidak boleh keluar atau tidak mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemerintah.
Referensi:
  1. Ihya' Ulum al Din, Juz. II, hal. 177
  2. Fiqh al Islamy Wa Adillatih
  3. Mughni al Muhtaj Ila Ma'rifati Alfadzi al Minhaj, Juz IV, hal. 159
  4. Al Ahkam al Sulthoniyah, hal. 5-6
  5. Tafsir al Thobari, Juz VIII, hal. 493
  6. Bughyah al Mustarsyidin Li al Sayyid Ba Alawy al Hadhromi, hal. 271
  7. Ghoyah Talkhis al Murod Min Fatawa Ibnu Ziyad, hal. 263
  8. Miroh Lubaid Li al Nawawi al Jawi, Juz I, hal. 156
Sekali lagi, pandangan ini adalah apa yang kita ketahui dalam kitab-kitab kuning yang ada dimana masih banyak membutuhkan koreksi disana-sini dalam menyimpulkan permasalahan di atas. Kita tahu bahwa hukum dalam fikih itu terbuka dan selalu mengikuti zaman dalam arti dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat, Taghoiyar al Ahkam Bi Taghoiyar al Azminah Wa al Amkinah. Setidaknya pandangan ini bisa menjadi sebuah pijakan awal dalam menyikapi permasalahan di atas.[]